TRIBUNNEWS.COM | 10 Juni 2016
TRIBUN-MEDAN.com, JAKARTA – Rencana penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek pada rokok tengah menjadi perdebatan di Tanah Air.
Kebijakan yang berasal dari Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) itu dinilai berpotensi mengurangi pendapatan negara dari rokok.
Dalam skala global, kemasan polos tanpa merek terbukti menjadi primadona baru bagi pendanaan aksi terorisme, menyaingi gurihnya hasil penyelundupan narkoba.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, kebijakan kemasan rokok polos akan mendorong produsen-produsen rokok saling bersaing dalam harga.
“Penyeragaman ini kontraproduktif dan menyebabkan perang harga,†kata Yustinus, Kamis (9/6/2016).
Lantaran tidak adanya merek pada kemasan, Yustinus melanjutkan, produsen rokok dapat menjual produknya dengan harga semurah-murahnya.
Langkah ini pun akan diikuti produsen-produsen lainnya.
“Jika semua harga murah, penerimaan negara dari cukai bisa berpengaruh. Basis harga yang rendah di market, cukai pun turun,†kata dia.
Padahal, penerimaan negara dari cukai tahun ini berpotensi meleset dari target.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dari Januari hingga per Juni 2016, penerimaan negara dari cukai sebesar Rp 28,2 triliun.
Angka ini hanya sekitar 19 persen dari target yang ditetapkan sekitar Rp 146 triliun.
Kini, pemerintah tengah mengusulkan perubahan target cukai naik menjadi Rp 148 triliun di dalam RAPBNP 2016.
Yustinus menambahkan, penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek pun diprediksi akan mendorong maraknya penjualan rokok ilegal.
Musababnya, tidak adanya perbedaan antara produk yang satu dengan lainnya. Karena itu, Yustinus berpendapat masyarakat pun sangat sulit untuk mengetahui yang mana produk resmi.
“Jadi kebijakan ini kurang tepat untuk diterapkan,†dia berujar.
Dorong pertumbuhan dana terorisme

