TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto justru akan menciptakan kepastian dan keadilan dalam proses pembayaran pajak.
“Tak perlu gusar dan Khawatir. Tidak ada pajak baru atau pemungutan yang agresif dan mencari-cari kesalahan,” kata Prastowo dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 4 Februari 2018.
Prastowo menjelaskan, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memiliki wewenang untuk menguji kepatuhan wajib pajak dengan pemeriksaan, salah satunya adalah melalui PMK 15 ini.
Pemberlakuan PMK 15, menurut Prastowo, ketika sistem swadiri yang memberikan kepercayaan kepada pihak wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya tidak dijalani dengan baik. “Ini hal yang luar biasa. Maka jangan sampai kepercayaan ini disalahgunakan, antara lain dengan tidak menyelenggarakan pembukuan,” ujarnya.
Ke depan, Prastowo juga mengimbau kepada para wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan, dan melaporkannya ke kantor pajak. PMK 15 adalah ketentuan yang memberikan alternatif bagi petugas pemungut pajak atau fiskus untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar bagi wajib pajak yang tak kooperatif.
Wajib pajak tak kooperatif yang dimaksud dalam aturan itu adalah wajib pajak yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan. Akibatnya, peredaran bruto yang sebenarnya tak diketahui.
Dengan implementasi aturan baru itu, penghitungan peredaran bruto yang dilakukan fiskus tak melulu dihitung berdasarkan omzet. Fiskus juga bisa menghitungnya berdasarkan delapan cara alternatif, seperti yang tampak dalam Pasal 2 beleid yang diundangkan pada 13 Februari 2018 tersebut.
Sebelumnya, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simaronjang mengatakan PMK 15 itu terlalu vulgar. Sarman menuturkan aksesibilitas yang diterima otoritas pajak atas keuangan wajib pajak akan menimbulkan kecurigaan.
Saman pun menyebut otoritas pajak yang dapat mengakses data informasi keuangan wajib pajak dan menentukan pajak yang harus dibayarkan sebagai ketidakadilan. “Seharusnya dibikin satu sistem sehingga tidak seolah-olah dimata-matai,” ujarnya saat dihubungi, Jumat, 2 Maret 2018.
Sumber: TEMPO.CO, 5 Maret 2018