KORAN.TEMPO.CO | 10 Maret 2015
Yustinus Prastowo Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis CITA Jakarta.
Presiden Jokowi telah memilih Sigit Priadi Pramudito sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru. Berasal dari internal Ditjen Pajak, Sigit diharapkan dapat langsung bekerja cepat. Maklum beban target penerimaan pajak 2015 di pundaknya tak tanggung-tanggung yaitu Rp 1.244 trilyun atau sekitar 70% dari total pendapatan APBN. Di bawah bayang-bayang kegagalan mencapai target selama lima tahun terakhir, apa yang harus dilakukan dirjen pajak? Tulisan berikut akan menyoroti hal-hal nonteknis yang sering diabaikan.
Dukungan Presiden dan Tim yang Tangguh
Banyak pihak menyebut apa yang dibebankan kepada Ditjen Pajak saat ini sebagai mission impossible. Tentu saja cermatan itu ada benarnya jika melihat kapasitas Ditjen Pajak yang semakin sulit mengejar potensi pajak yang ada. Institusi pemungut pajak mirip kuda tua yang letih, enggan lagi berpacu maupun menggendong beban. Hal tersebut disadari oleh Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan yang segera merespon dengan solusi taktis. Anggaran Ditjen Pajak dinaikkan signifikan sehingga para pegawainya dapat menikmati kenaikan remunerasi yang signifikan. Pengembangan sistem administrasi pun diperhatikan melalui tambahan investasi di bidang teknologi informasi. Untuk menambah kekuatan organisasi, pemerintah menyiapkan tambahan pegawai setidaknya 10.000 orang dalam jangka pendek dan penunjukan beberapa deputi untuk membantu tugas dirjen pajak. Agar lebih efektif, dukungan Presiden tersebut seharusnya ditambah dengan peraturan presiden tentang perlindungan petugas pajak dari kriminalisasi dan penyediaan fasilitas berupa rumah dinas dan pelayanan kesehatan yang memadai.
Bermodalkan dukungan presiden di atas, Dirjen Pajak harus mulai membangun tim yang tangguh. Sejarah mencatat keberhasilan Ditjen Pajak sangat dipengaruhi performa dirjennya. Kepemimpinan yang mengayomi, keteladanan dari atasan, perlindungan hukum, penciptaan suasana kerja yang kondusif, hingga skema mutasi dan promosi pegawai menjadi isu yang langgeng. Pasang surut kinerja institusi amat ditentukan bagaimana pimpinan Ditjen Pajak mengelola organisasi. Memilih dan menempatkan para pejabat sesuai kompetensi merupakan syarat mutlak. Beberapa jabatan kunci di kantor pusat seperti Sekretaris Ditjen, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan (PKP), Direktur Pemeriksaan dan Penagihan (P2), Direktur Intelijen dan Penyidikan (Inteldik) harus diemban mereka yang mumpuni dan amanah. Bersama dirjen pajak mereka adalah dirijen dalam orkhestra seni memungut pajak. Kemudian beberapa jabatan teritorial strategis seperti Kanwil Wajib Pajak Besar, Kanwil Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di bawahnya juga harus dipegang oleh pejabat yang memikiki kompetensi unggul dan rekam jejak baik. Lugasnya, corak pemimpin-pelayan sudah saatnya dijadikan model baru kepemimpinan.
Hal penting berikutnya adalah menumbuhkan kembali militansi sebagai pemungut pajak. Patriotisme sebagai medan pembuktian di tengah terpaan berbagai isu miring korupsi. Soliditas pegawai pajak baik horisontal maupun vertikal merupakan prasyarat bagi kinerja pemungutan pajak yang baik. Tuntutan akan profesionalitas yang tinggi dan integritas yang baik harus dibarengi dengan manajemen sumberdaya manusia yang baik. Meski berkomitmen ditempatkan di seluruh penjuru Nusantara, para pegawai tetap butuh kepastian masa depan. Untuk itu dibutuhkan peta penempatan dan karir yang jelas agar kerja profesional didukung keluarga bahagia yang setia mendampingi.
Bermitra menuju Sinergi Baru
Hal lain yang dikhawatirkan dari tambahan beban penerimaan yang besar adalah skenario “berburu di kebun binatang”. Wajib pajak yang relatif sudah patuh terus – menerus menjadi sasaran intensifikasi. Jalan pintas ini jamak dilakukan jika ekstensifikasi membutuhkan upaya yang lebih keras di tengah sinisme publik terhadap kualitas belanja APBN yang masih buruk. Tentu saja ini perlu diantisipasi. Meski masih banyak wajib pajak yang belum patuh, Ditjen Pajak tetap perlu menempatkan wajib pajak sebagai mitra, bukan seteru. Penegakan hukum harus terus diarahkan untuk meningkatkan kepatuhan agregat. Sesuai filosofi UU Perpajakan yang mengedepankan penerimaan negara, maka penyelesaian administrasi harus didahulukan. Ditjen Pajak sebaiknya tidak menguras energi untuk memeriksa sebanyak mungkin wajib pajak tetapi fokus pada wajib pajak sektoral yang potensial dan memiliki efek penjera yang berdampak luas. Fungsi gatekeeper seperti Konsultan Pajak, Akuntan Publik, Advokat, dan lainnya harus diberi ruang yang luas dalam sistem kepatuhan sehingga memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas.
Alvin Rabuskha – ahli pajak dari Stanford University – menyarikan tiga pelajaran penting dari sejarah. Pertama, sistem perpajakan yang baik akan segera menjadi buruk kecuali warganegara berhasil mencegah pemerintah untuk berbelanja melampaui kemampuan. Kedua, peradaban cenderung akan merusak dirinya akibat praktik perpajakan yang eksesif. Dan ketiga, moderasi merupakan prinsip penting dalam merancang dan mengimplementasikan sistem perpajakan. Dalam tegangan antara target penerimaan pajak yang tinggi dan kebutuhan membangun masyarakat dan ekonomi yang baik itulah pemungutan pajak merupakan tantangan maha berat. Tentu saja ini bukan mission impossible jika sejak awal disadari bahwa pajak adalah perwujudan kesadaran dan gotong royong seluruh anak bangsa.
Jika pajak adalah harga yang harus dibayar untuk peradaban, hari-hari ini kita diuji untuk membuktikannya.
*) Catatan ini bagi saya berguna untuk mengevaluasi apa yang kurang dan belum dikerjakan.
Baca selengkapnya : http://koran.tempo.co/konten/2015/03/10/367204/Tantangan-Berat-Dirjen-Pajak