Opini

Dampak Kenaikan PTKP (Take Home Pay) terhadap Perekonomian

Tren penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 membuat Pemerintah mencari cara untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan konsumsi. Salah satu stimulus yang diberikan Pemerintah di tahun ini adalah kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Komisi IX DPR telah menyetujui kenaikan PTKP sebesar 50% dari Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan menjadi Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Kenaikan PTKP ini mendapat respon positif dari berbagai kalangan, terutama bagi kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) karyawan yang dewasa ini upah minimumnya telah ditetapkan di atas PTKP pada beberapa daerah. Aturan perubahan PTKP ini rencananya bersifat retroaktif atau berlaku surut, artinya mulai 1 Januari 2016, Wajib Pajak dengan penghasilan dibawah Rp 4,5 juta per bulan tidak lagi dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).

PPh Pasal 21 atas karyawan tetap ataupun karyawan tidak tetap, serta tenaga ahli (bukan pegawai) seperti dokter, konsultan dan profesional lainnya, selama ini memang menjadi salah satu komponen penyumbang terbesar penerimaan pajak di Indonesia. Secara hukum, ketentuan pemotongan PPh Pasal 21 memang sudah cukup kuat dan tingkat kepatuhan dalam pemungutannya sudah relatif bagus, sehingga pembayaran pajak dari sektor ini memberi kontribusi yang cukup besar, yaitu sebesar Rp 105 triliun yang hampir mencapai 70% dari penerimaan PPh Badan sebesar Rp 155 triliun di tahun 2015. Di sisi lain, WP OP Non Karyawan juga merasakan manfaat atas kenaikan tersebut. Namun demikian, penerimaan PPh 21 atas WP OP Non Karyawan hanya memiliki porsi penerimaan yang sangat kecil, yaitu sebesar Rp 6 triliun sehingga dampak yang dirasakan atas kelompok WP OP Non Karyawan tersebut tidak terlalu besar.

PTKP merupakan pengurang penghasilan neto individu untuk menentukan berapa sebenarnya penghasilan kena pajak (PKP) atas individu tersebut. Semakin besar PTKP, semakin kecil PKP-nya, dan semakin besar take home pay-nya. Sebaliknya, semakin kecil PTKP, semakin besar PKP-nya, dan semakin kecil take home pay-nya. Sebelumnya, pada tahun 2015 Pemerintah juga menaikkan PTKP sebesar 50% dari Rp 24,3 juta per tahun atau 2,025 juta per bulan menjadi Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 122/PMK.10/2015. Berikut ini sejarah perubahan PTKP di Indonesia:

 

Sejarah Perubahan PTKP di Indonesia  (dalam ribuan rupiah)

Status 1984 1995 2001 2005 2006 2009 2013 2015 2016
WP Sendiri    960    1.728    2.880    12.000    13.200    15.840    24.300    36.000    54.000
Status Kawin    480       864    1.440      1.200      1.200      1.320      2.025      3.000      4.500
Penghasilan Istri/Lebih dari 1 Pemberi Kerja    960    1.728    2.880    12.000    13.200    15.840    24.300    36.000    54.000
Tanggungan Maksimal 3    480       864    1.440      1.200      1.200      1.320      2.025      3.000      4.500

Sumber: Kemenkeu.go.id

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah cukup aktif meng-update kenaikan PTKP untuk disesuaikan dengan tingkat inflasi dan kondisi perekonomian domestik.  Namun demikian, apakah nilai PTKP yang telah ditetapkan Pemerintah memiliki nilai yang cukup sepadan untuk menggantikan biaya hidup dewasa ini?  Apabila diperhitungkan, nilai PTKP untuk WP sendiri hanya sebesar Rp 54 juta setahun (atau 365 hari) sehingga dalam 1 hari apabila diibaratkan negara hanya memberikan Rp 150.000 per harinya kepada WP sebagai biaya hidup (biaya dasar) untuk memperoleh Penghasilan. Dapat dibayangkan apakah nilai sebesar itu cukup digunakan untuk membiayai kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) dalam rangka memperoleh penghasilan.

Pengaruh Kenaikan PTKP Terhadap Perekonomian Nasional

Kebijakan untuk menaikkan PTKP ini perlu didukung oleh berbagai pihak karena akan berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, kenaikan PTKP berpotensi meningkatkan konsumsi dalam negeri. Karena  ada tambahan penghasilan yang sebelumnya dipotong untuk membayar pajak, namun sekarang bisa dialokasikan untuk konsumsi atau belanja sehari-hari. Setidaknya terdapat tambahan sekitar Rp 16,8 Triliun yang disirkulasikan di perekonomian Indonesia melalui konsumsi Rumah Tangga. Konsumsi domestik ini memiliki relevansi dengan pertumbuhan ekonomi sehingga salah satu strategi pemerintah untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi adalah dengan meningkatkan daya beli masyarakat dalam negeri. Sementara pada kondisi ekonomi global yang sedang melemah, dirasakan sulit bagi pemerintah untuk mendorong sektor lain seperti ekspor. Hal ini dikarenakan negara-negara yang menjadi destinasi ekspor Indonesia belum pulih kondisi perekonomiannya.

Lebih lanjut, dampak kenaikan take home pay berpotensi meningkatkan tabungan atau saving masyarakat, uang yang sebelumnya digunakan untuk membayar Pajak Penghasilan bisa ditabung -jika WP memilih untuk tidak membelanjakannya. Peningkatan pola saving ini akan menjadi keuntungan bagi perbankan untuk dapat memutar kembali uang tersebut dalam bentuk pinjaman kredit usaha mikro, pembiayaan cicilan kredit properti dan instrumen lainnya yang dapat menggerakkan roda perekonomian bangsa. Ketiga, kenaikan batas PTKP telah meniadakan kewajiban pelaporan pajak untuk beberapa WP OP Karyawan yang gajinya tidak melebihi atau sama dengan nilai PTKP. Dengan demikian, kebijakan ini memberikan perlindungan dan keringanan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah dengan tidak lagi terbebani pemotongan PPh 21.

Bagaimana Pengaruh Kenaikan PTKP Terhadap Penerimaan Pajak

Kenaikan PTKP tentunya akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak, apakah akan menghasilkan potential income atau justru sebaliknya? Di satu sisi, kenaikan PTKP akan berpengaruh negatif terhadap penerimaan PPh Pasal 21, karena jumlah Wajib Pajak yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21 akan berkurang dan jumlah pembayaran PPh Pasal 21 juga akan berkurang sehingga menimbulkan potensial loss. Namun di sisi lain, kenaikan PTKP akan memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan PPN maupun pajak lainnya, misalnya PPh Pasal 4 ayat (2), karena adanya peningkatan daya beli atas konsumsi masyarakat dan daya investasi Wajib Pajak khususnya sektor properti. Diperkirakan terdapat potensi peningkatan PPN sekitar Rp 1,08 Triliun.

Diharapkan kebijakan ini akan terus dilanjutkan dan disesuaikan dengan kondisi perekonomian ke depan guna mempertahankan tingkat daya beli dan daya investasi. Untuk mengantisipasi berkurangnya penerimaan PPh, DJP dapat melakukan ekstensifikasi. Salah satunya melalui Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) untuk menambah jumlah Wajib Pajak dan meningkatkan kesadaran serta kepatuhan Wajib Pajak itu sendiri. Kebijakan tax amnesty diharapkan dapat memberikan makna baru keadilan, yaitu dengan menambah jumlah wajib pajak sehingga bukan hanya WP OP Karyawan menengah ke bawah yang setiap tahunnya memberikan kontribusi perpajakan hingga Rp 108 triliun di tahun 2015, melainkan juga menjaring WP baru non karyawan yang selama ini menyembunyikan harta dan menghindari pajak.

Pada akhirnya kebijakan untuk menaikkan PTKP perlu didukung bersama, selain untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja dan pegawai dengan penghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan, lebih lanjut  kebijakan ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak roda perekonomian Indonesia. Dengan adanya langkah strategis yang sedang, tengah, dan akan dilakukan oleh DJP untuk mengantisipasi potensial loss kebijakan kenaikan batas PTKP ini sudah pada track yang benar. Kebijakan yang saling beriringan ini akan menjadi strategi yang baik untuk mengamankan penerimaan Negara (APBN) sehingga stabilitas perekonomian terjaga dan target penerimaan pajak tercapai.

Komentar Anda