Dia menambahkan menurutnya jika data yang dimiliki kuat, maka keduanya bisa match. “Masih ada yang kurang dan harus di kaji lebih teliti lagi, yakni data konkrit wajib pajak. Data itu penting untuk mengecek apakah sudah match antara strategi pemeriksaan dengan kepatuhan pajaknya,” kata dia di Graha Akuntan, Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Bahkan menurutnya DJP juga harus melakukan pengecekan nominal di Surat Keterangan Pajak (SKP) apakah ada kenaikan atau penerimaan. “Paling penting itu memperkuat data, sistem dan kepatuhan,” lanjutnya.
Dia pun menceritakan bahwa di beberapa negara komunis masih bergejolak apakah tax evasion itu dibenarkan secara moral atau tidak. Tax evasion sendiri yakni suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (ilegal). Misalnya dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
“Itu pengalaman mereka sebagai negara bekas komunis. Kalau caranya seperti itu, maka itu otoriter, melanggar HAM, dan korupsi. Makannya perlu ada survei, apa yang membuat mereka tidak patuh dan tidak jujur? Jangan-jangan ada permainan. Berarti kan kuncinya balik lagi ke data, tidak perlu yang lainnya,” pungkasnya.
(akr)