Tokoh

Herry Zudianto, Budaya dan Pajak

Komunikasi – persisnya gaya Jogja – yang beliau garis bawahi, dengan satu idiom khas Jogja yang amat mengena, yakni “gék gék” (jangan jangan) yang mengandung rasa khawatir. Dalam cakrawala sosio-budaya Jawa, berinteraksi dengan pihak yang tak sepenuhnya terselami hatinya, apalagi punya kuasa, rawan memunculkan kesalahpahaman dan ketakterusterangan.

Sumber gambar www.alumnipadmanaba.id/

Herry Zudianto, Budaya dan Pajak

Siapa tidak mengenal Herry Zudianto? Beliau adalah Walikota Yogyakarta dua periode, 2001-2006 dan 2006-2011, yang di Jogja amat populer meski sudah purnabhakti. Selain hidup keseharian yang bersahaja, Pak Herry juga pribadi yang ramah dan hangat. Selama menjadi walikota, pengusaha yang juga kader Muhammadiyah ini, banyak membuat gebrakan. Alih-alih nyaman menikmati kendaraan dinas yang mewah, Pak Herry lebih senang bersepeda ke manapun. Bersepeda bukan sebagai pencitraan namun jalan hidup: sehat, ramah lingkungan, bisa akrab menyapa warga, dan menginspirasi. Kinerjanya pun menjadi rujukan dan patok-banding para kepala daerah sesudahnya, termasuk Joko Widodo di Surakarta. Kini, Pak Herry pun tetap hidup di tengah-tengah masyarakat, dan mendapat tempat spesial di hati rakyat.

Belakangan saya berjumpa Pak Herry di dua acara. Pertama, sekitar Juni 2016, ketika saya membantu Bank Mandiri melakukan sosialisasi program amnesti pajak di Yogyakarta. Pak Herry sebagai salah satu peserta yang langsung saya kenali, pun diminta untuk berpendapat. Dengan tuturan yang santun dan mengalir, beliau mengapresiasi program ini, menggarisbawahi pentingnya pajak, dan mengajak hadirin lain untuk memanfaatkannya. Tak lupa Pak Herry menekankan pentingnya pelayanan publik yang lebih baik, termasuk bagaimana Pemerintah harus memfasilitasi dunia usaha agar kondusif dan dapat menjadi lebih baik.

Minggu ini, tepatnya 22 Maret 2017, ketika saya memenuhi undangan Kanwil Pajak Jogja yang dipimpin Pak Yuli Kristiyono, untuk memberikan sharing tentang kebijakan pajak, waktu mempertemukan saya kembali dengan Pak Herry. Tetap saja, beliau yang masih mengingat saya dengan baik, ramah menyapa lalu berbincang ringan. Di tengah berlangsungnya acara, moderator meminta beliau untuk menyampaikan pandangan, aspirasi, atau masukan. Kali ini saya terkesima. Tak sekedar mendengarkan apresiasi, kami juga berbagi keprihatinan dengan fakta yang ada, bahwa sebagian besar Pemda di DIY hidup dari dana perimbangan, yang dinikmati jauh di atas kotribusi penerimaan pajaknya. Tentu saja ada tantangan besar untuk bersinergi, terutama meningkatkan kapasitas pemungutan pajak dan koordinasi antara Pusat dan Daerah.

Tapi satu hal yang ingin saya tonjolkan adalah beliau mewanti-wanti soal komunikasi publik. Mengutip paparan saya tentang tiga model relasi wajib pajak dan otoritas pajak – fight, flight, and fraud – dengan jitu beliau mencandra, bahwa jangan sampai yang terjadi justru “dari fight ke flight”, orang enggan bicara karena saling percaya yang luntur, hingga memilih untuk kabur. Komunikasi – persisnya gaya Jogja – yang beliau garis bawahi, dengan satu idiom khas Jogja yang amat mengena, yakni “gék gék” (jangan jangan) yang mengandung rasa khawatir. Dalam cakrawala sosio-budaya Jawa, berinteraksi dengan pihak yang tak sepenuhnya terselami hatinya, apalagi punya kuasa, rawan memunculkan kesalahpahaman dan ketakterusterangan.

Saya pun memaparkan ini sebelumnya, yakni analogi “mondholan”, benjolan sebesar telur di bagian belakang blangkon Jogja. Keterusterangan atau keterbukaan adalah ikhtiar yang harus diresapi dan diperjuangkan oleh kedua belah pihak: otoritas pajak (pemerintah) dan wajib pajak (warganegara). Jangan-jangan, niat baik saya untuk sukarela menghadap, bertamu dan bertemu, malah berakibat fatal yakni saya dikenal, ditandai, dan ditindaklanjuti!

Pak Herry kemudian mengimbuhi, betapa ketika beliau memulai tugasnya sebagai walikota, adagium “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” masih cukup membekas. Semua lantas diubah, seperti dalam menghimbau pembayaran PBB yang menghindari nada mengancam, tetapi mengedepankan ajakan dan persuasi. Tapi komitmen Pemerintah juga harus jelas. Ketika pajak yang dibayar adalah cara saya mengongkosi peradaban, maka Pemerintah juga tidak boleh menghambat hak masyarakat, salah satunya soal perijinan usaha yang dikeluhkan. Pemerintah harus sumbut (komitmen yang sepadan, konsisten). Bahkan malam itu tak sedikit wajib pajak yang mengeluhkan ketimpangan kualitas infrastruktur antara DIY dan Jawa Tengah, hingga para pengusaha angkutan harus terus terang mengaku tak cukup patuh membayar pajak, karena uang mereka tergerus untuk membayar “pajak” berupa risiko kerusakan kendaraan akibat jalan yang rusak parah.

Malam itu saya menyaksikan masa depan perpajakan Indonesia cukup menjanjikan. Hampir tak ada sekat antara pihak Ditjen Pajak dan masyarakat wajib pajak. Kemasan acara yang menonjolkan citarasa budaya Jogja agaknya memberi aura positif. Bahkan Pak Yuli pun dengan lihai meracik sambutan dan paparan secara persuasif dengan ungkapan dan bahasa Jawa halus (kromo inggil), tanpa mengurangi bobot pesan yang gamblang bahwa pasca-amnesti Pemerintah akan bertindak tegas kepada mereka yang tak patuh. Para hadirin, pria maupun wanita, dengan terbuka menyampaikan harapan, keluhan, dan masukan – termasuk komitmen untuk lebih baik. Dalam kemasan yang guyub dan gayeng – tak mustahil pajak yang selama ini dikesankan kaku, serius, dan melulu kewajiban, ternyata dapat diperbincangkan dengan renyah.

Tentu saja masih terdapat banyak kekurangan pada bangsa yang masih tertatih untuk bangkit maju ini. Kesadaran yang penuh akan menuntun semua niat baik, terlebih ketika tuntutan yang amat tinggi pada kinerja dan pelayanan pemerintah yang baik kerap bertepuk sebelah tangan. Sungguh bukan hal yang mudah memberikan pemahaman di tengah format ketatanegaraan yang rumit dan ruwet ini. Toh saya masih ingin terus merawat api optimisme sebagai nyala yang memandu kita keluar dari lorong labirin ketidakpastian ini.

Dan saya bangga bertemu dengan orang seperti Pak Herry Zudianto, bekas pejabat negara yang hingga kini tetap dihormati dan dicintai warga Jogja. Tokoh yang menjadi simbol dan inspirasi menyatunya kata dan perbuatan, yang tiap lakunya adalah komitmen melayani dan menghadirkan negara. Jika meminjam ungkapan Latin, yang dilakukan adalah contemplation in actiones, kontemplasi dalam aksi, laku tapa ngrame, bertapa bukan di keheningan namun masuk dalam simpang siur dunia yang semrawut ini. Tentu saja kita membutuhkan Herry-Herry yang lain, dan kita punya tugas sejarah melahirkannya. Dan bila kita sepakat pajak adalah cara kita mengongkosi peradaban, maka partisipasi membayar pajak dan menggunakan uang pajak dengan baik adalah cara kita menegakkan adab.

Bagi Pemerintah, khususnya Kemenkeu dan Ditjen Pajak, ini adalah undangan sekaligus tantangan untuk sudi masuk dan merasuk ke kedalaman kearifan dan kebajikan lokal. Mewartakan pajak sebagai bagian kearifan sekaligus menggunakan kekayaan budaya setempat yang khas. Merangkul dan melibatkan (membangun kehendak/ing madya mangun karsa) orang-orang yang memiliki pengaruh baik dan terhormat, demi menggelindingkan bola salju kegotong-royongan yang hakiki.

Melampaui segala teknikalitas dan narasi legalistik sistem perpajakan, ada satu perigi harapan yang tersisa dan menjanjikan – yakni relung kesadaran bahwa masih banyak orang peduli dan ingin terlibat. Tinggal bagaimana kita pintar-pintar mewadahi dan menyiasati. Di sini kepemimpinan juga bukan perkara kuasa, pendidikan yang tinggi, apalagi pencitraan tentang segala hal baik, tapi keterbukaan dan keterusterangan, agar semua prasangka “gek-gek” tadi sirna, dan yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa hanya kitalah yang mampu menolong dan menghidupi diri sendiri, mengongkosi peradaban. Membangun kesadaran pajak melalui budaya, sekaligus membangun budaya pajak.
Memayu hayuning bawana, ing ngarsa sung tulada!

Yustinus Prastowo

Komentar Anda