Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
Komentar Pers
”Tolak Wacana Tax Amnesty ‘Jilid 2’”
Akhir-akhir ini berkembang wacana dan usulan tax amnesty “jilid 2”. Terhadap wacana ini, kami menyampaikan sikap sebagai berikut.
1. Kami tidak setuju dan menolak tegas wacana tax amnesty “jilid 2” sebagaimana beredar dan diwacanakan, oleh siapa pun. Hal ini jelas sangat tidak baik bagi masa depan bangsa Indonesia dan sistem perpajakan kita. Kewibawaan dan otoritas negara harus melampaui urusan-urusan partikular dan kepentingan sesaat yang sangat subyektif dan oportunistik.
2. Pengampunan pajak yang diberikan 2016-7 sudah menunjukkan kebaikan hati Pemerintah untuk menunda penegakan hukum, dan seharusnya dimanfaatkan dengan maksimal oleh wajib pajak. Kebijakan dengan skema terbaik, yaitu tarif sangat rendah, tidak ada kewajiban repatriasi, jangka waktu menahan harta di Indonesia hanya 3 tahun, dan mendapatkan pengampunan pajak tahun 2015 dan sebelumnya. Apalagi telah diiringi dengan kebijakan insentif pajak yang cukup signifikan dan kelonggaran penegakan hukum.
3. Apalagi pasca-amensti sudah diikuti keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui Perppu 1 Tahun 2017/UU No. 9 Tahun 2017 – baik atas aset di dalam maupun di luar negeri. Hal ini sejalan dengan peta jalan penegakan hukum pasca-amnesti yang akan lebih efektif jika didukung data/informasi yang akurat. Kini saatnya semua pihak, terutama institusi negara, memperkuat dan memback up penuh Ditjen Pajak untuk melakukan reformasi pajak dan penegakan hukum yang terukur, imparsial, objektif, dan fair.
4. Saat ini sudah dapat dibuat pemetaan dan profil wajib pajak menurut klasifikasi risiko – tinggi, sedang, dan rendah. Wajib pajak yang selama ini sudah patuh atau sudah ikut tax amnesty dengan jujur masuk kategori risiko rendah, sedangkan di luar itu masuk kategori risiko sedang dan tinggi sesuai kondisi kepatuhannya. Merekalah yang menjadi sasaran pembinaan (risiko sedang) dan penegakan hukum (risiko tinggi). Dengan kata lain, peta jalan setelah tax amnesty adalah keterbukaan informasi dan penegakan hukum.
5. Pemberian tax amnesty dalam jangka pendek jelas menjadi sinyal buruk bahwa Pemerintah bisa diatur oleh segelintir kelompok kepentingan. Hal ini juga akan melukai rasa keadilan bagi yang sudah ikut tax amnesty dengan jujur, bagi yang selama ini sudah patuh, dan akan jadi preseden buruk karena menciptakan efek psikologi bahwa “saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty”, atau dalam literatur disebut sindrom ‘permanent tax amnesty’ sebagaimana pernah terjadi di Argentina.
6. Pemerintah sebaiknya tegas dan fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan. Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang terus berkompromi dengan kelompok dan pihak yang memang sejak awal tidak punya niat untuk patuh dan terbiasa menjadi penumpang gelap Republik.
7. Mengajak komunitas intelektual, masyarakat sipil, pegiat demokrasi, profesional, dan siapapun yang menaruh perhatian bagi masa depan Republik yang lebih baik untuk bersatu, mengingatkan, mengkritik, dan mengawal Presiden, Menteri Keuangan, dan otoritas pajak, agar tetap teguh dan tegak lurus pada kepentinhan nasional dan kemaslahatan bangsa dan negara.
Terima kasih telah berkenan menyebarluaskan.
Jakarta, 2 Agustus 2019
Salam hangat,
Yustinus Prastowo