CITAX

Pemerintah Didesak Telusuri Dugaan Siasat Pajak Ford

BERITASATU.COM | 13 September 2016

691454490940

Jakarta – Pemerintah didesak untuk menelusuri dugaan siasat menghindari Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang disinyalir dilakukan Ford Motor Indonesia (FMI) untuk produk Everest.

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo meminta pemerintah memeriksa dugaan kasus yang melibatkan pabrikan otomotif asal Amerika Serikat itu.

“Modus ini sangat mungkin dilakukan karena di sini ada manipulasi spesifikasi untuk menghindari PPnBM. Tapi perlu diteliti lebih lanjut,” ujar Yustinus yang juga Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/9).

Ia berharap Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai menelisik dugaan ini. Sebab, hal itu merupakan suatu bentuk kecurangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan pajak yang lebih besar.

Kejadian itu dinilai cukup ironis di tengah upaya pemerintah yang gencar menggenjot penerimaan negara dari pajak.

“Kalau itu benar terjadi maka yang jadi pertanyannya kenapa kok bisa terjadi, berarti pengawasannya tidak maksimal,” tegas Yustinus.

Seperti diberitakan, hengkangnya Ford secara tergesa-gesa diduga tak lepas dari persoalan PPnBM mobil Ford Everest. Salah satu modus dugaan Ford menyiasati pajak adalah dengan mengubah spesifikasi dan memodifikasi mobil Everest sebelum dan sesudah impor. PT FMI, agen pemegang merek Ford, mengimpor Everest yang diproduksi di pabrik Auto Alliance Thailand/AAT dengan model 7 seat.

Dalam keterangan tertulis yang diterima SP disebutkan, untuk pasar Indonesia, Ford mengirimkannya terlebih dahulu ke RMA khusus model 4×4 dengan tujuan untuk memodifikasi menjadi 10 seat sebelum ke tangan konsumen di Indonesia. Hal ini untuk menyiasati PPnBM impor di Indonesia supaya jauh lebih murah. Spesifikasi 10 seat diterima hingga gudang FMI di Jakarta. Namun, sampai konsumen di Indonesia, Ford Everest dikembalikan ke awal seperti yang diproduksi di Ford Thailand dengan spesifikasi 7 seat.

Trik yang dilakukan Ford melalui modifikasi spesifikasi ini diduga dimulai pada 2007 hingga 2014. Cara itu diduga dilakukan diduga untuk mengakali besaran PPnBM Impor. Beleid PPnBM Impor mobil mewah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 2006, PP No. 41 tahun 2013 mengenai Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Berdasarkan aturan PP tersebut, dengan spesifikasi 7 Seat, 4×4, dan 2500 CC, Everest semestinya dikenai pajak 40% dari harga unit impor yang dilaporkan sampai di Indonesia. Memang, ada jasa untuk mengubah dari 7 seat menjadi 10 seat oleh RMA di Thailand. Namun hal tersebut diduga dimanfaatkan oleh FMI untuk menyiasati PP, sebagai syarat menyesuaikan PPnBM impor agar lebih murah. Dengan kategori dan modifikasi Everest di luar pabrik menjadi 10 seat, pajaknya menjadi hanya 10%.
Dengan demikian, patut diduga FMI mendapatkan keuntungan dari pajak yang lebih rendah.

Kerugian negara diduga mencapai ratusan miliar rupiah. Sebagai contoh, bila penjualan Everest pada 2011 dengan pajak ideal 40% pada harga jual sekitar Rp 295 juta, berarti Ford seharusnya membayar pajak Rp 118 juta per unit. Namun, dengan pajak 10%, perusahaan cukup bayar Rp 29,5 juta per unit. Artinya, ada selisih Rp 88,5 juta per unit.

Jika penjualan Everest pada tahun 2011 adalah 1.639 unit, maka Ford kekurangan bayar pajak Rp 145 miliar. Angka ini akan lebih besar lagi, mengingat Ford juga menjual Everest pada tahun-tahun berikutnya hingga saat ini.

Selain persoalan pajak, Ford juga meninggalkan permasalahan jaminan terhadap layanan purna jual kepada konsumen.

Yustinus menduga modus perubahan spesifikasi umumnya dilakukan melalui manipulasi dokumen importasi barang. Jika dugaan itu terbukti, Ford bisa saja dijerat secara hukum karena dianggap telah melakukan pidana perpajakan lantaran menyampaikan informasi yang tidak benar sehingga merugikan negara.

Adapun ancaman pidananya dapat mengacu pada Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 39, sanksi terhadap pelanggaran pajak itu adalah hukuman penjara tiga tahun dan denda empat kali dari pajak yang tidak dibayar.

Patuhi Aturan
Sementara itu, Communication Director PT Ford Motor Indonesia (FMI) Lea Kartika Indra, mengaku pihak Ford patuh terhadap peraturan dan kebijakan Pemerintah Indonesia, termasuk persyaratan masuk bea cukai dan kewajiban pajak impor produk kendaraan mereka.

“Kepatuhan ini didasarkan pada izin resmi dari pemerintah Indonesia untuk setiap program kendaraan kami sebelum impor dan penjualan domestik kendaraan tersebut dilakukan,” kata dia.

Komentar Anda