Center for Indonesia Taxation Analysis
Press Release
“Optimalisasi Penerimaan Perpajakan: Strategi dan Tantangan”
Di era pemerintahan Joko Widodo, pembangunan infrastruktur menjadi fokus pemerintah. Tak pelak, anggaran belanja negara meningkat drastis. Sebagai konsekuensi, peningkatan pengeluaran ini membutuhkan kenaikan pendapatan negara, dan penerimaan perpajakan adalah tumpuan utama. Maka, optimalisasi penerimaan perpajakan menjadi hal yang penting dan strategis untuk dilakukan.
Pemerintah sendiri telah berupaya melakukan optimalisasi melalui berbagai kebijakan, program, dan strategi. Pada tahun 2015 dicanangkan sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak (Reinventing Policy) sebagai bentuk pengampunan terbatas. Hal ini berlanjut di 2016, ketika Pemerintah mengimplementasikan program Amnesti Pajak. Dari program ini berhasil diperoleh deklarasi harta sebanyak Rp4.865,7 triliun, dan mendulang setidaknya Rp134,8 triliun bagi pundi-pundi negara mealui uang tebusan yang dibayarkan, dan Rp147,1 triliun komitmen repatriasi harta dari luar negeri. Kebijakan lain adalah revaluasi aktiva tetap, kenaikan jumlah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), dan terakhir perbaikan kebijakan tax holiday.
Meski segala cara dicoba dan semua daya dikerahkan, kebijakan dan program itu belum signifikan mendongkrak penerimaan perpajakan karena kondisi perekonomian nasional sedang menuju pemulihan. Seiring berakhirnya amnesti pajak, Pemerintah dan DPR menyepakati Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU. Gerbong reformasi bergerak maju, terutama pasca pergantian Dirjen Pajak. Kini baik Ditjen Pajak maupun Ditjen Bea dan Cukai lebih erat bersinergi di bawah program Reformasi Perpajakan. Berbagai perbaikan regulasi, koordinasi, dan pelayanan terus dilakukan, seperti penertiban importir berisiko tinggi, integrasi pelayanan, perbaikan prosedur dan kualitas audit, dan percepatan restitusi.
Meski belum sepenuhnya ideal dan sempurna, apa yang dilakukan mulai menuai hasil. Tahun 2017 Ditjen Pajak berhasil mencapai realisasi penerimaan sebesar 89,4% dari target dengan nominal Rp1151,1 triliun. Bahkan Ditjen Bea dan Cukai berhasil melampaui target yang ditetapkan, yaitu mencapai Rp192,5 triliun yang terdiri dari penerimaan cukai, bea masuk dan bea keluar. Tren membaik ini tampaknya berlanjut di tahun 2018, tercermin dari peningkatan penerimaan di hampir semua jenis pajak dibandingkan penerimaan tahun 2017. Namun, Pemerintah tetap harus mewaspadai dinamika perekonomian global dan nasional. Tetap diperlukan upaya yang lebih keras, cerdas, dan fokus untuk menjaga momentum perbaikan ini. Di tengah situasi perekonomian yang menuju fase pemulihan, kebijakan yang lebih moderat merupakan pilihan yang lebih baik. Pilihan kita adalah penerimaan atau pertumbuhan dan multiplier effect.
Pada triwulan-I 2018, pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 9,94% meski ditengah perekonomian yang masih belum stabil dan masih dalam tahap pemulihan. Data triwulan-I 2018 menunjukkan penerimaan pajak mencapai Rp244,5 triliun dari target yang telah ditetapkan, yakni sebesar Rp1.424 triliun atau 17,1% dari target. Sedangkan, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai baru mencapai 9,22% atau Rp17,89 dari target Rp194 triliun yang telah ditetapkan pada 2018.
Berdasarkan latar belakang dan data di atas, kami menyampaikan beberapa hal berikut.
- Dengan kinerja perpajakan seperti saat ini dan diasumsikan trennya bertahan hingga akhir tahun, kami memproyeksikan kinerja penerimaan pajak di akhir tahun akan mencapai 92% dari target APBN. Proyeksi ini lebih baik dibandingkan realisasi Tahun 2017 dan sebelumnya. Implikasinya defisit APBN akan lebih kecil.
- Meski demikian, tekanan terhadap Pemerintah di sektor perpajakan tetap tinggi. Dinamika perekonomian global yang tercermin dalam dua indikator yaitu kenaikan harga minyak mentah dan depresiasi rupiah patut diwaspadai pengaruh dan dampaknya pada pencapaian penerimaan perpajakan. Program reformasi perpajakan perlu dilanjutkan dan dituntaskan dengan berfokus pada perbaikan regulasi, perbaikan prosedur, peningkatan kualitas dan integritas SDM, dan peningkatan layanan.
- Perlu segera ada quick win yang dampaknya dirasakan langsung oleh wajib pajak. Selain untuk membangun mutual trust, hal ini penting untuk memastikan bahwa reformasi perpajakan merupakan pilihan kebijakan terbaik dan menjanjikan pencapaian hasil yang signifikan di masa mendatang. Selain pelayanan, fairness audit pajak melalui CRM (Compliance Risk Management) perlu segera direalisasikan.
- Kami Kami juga mengapresiasi penerbitan Perpres 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan sebagai awal dimulainya program Core Tax System yang menjadi dasar hukum pembaruan administrasi perpajakan dan berharap secepatnya Perpres ini segera dilengkapi dengan aturan pelaksana yang jelas dan berkepastian. Implementasi program ini perlu diawasi bersama-sama dan dipastikan dapat terselenggarakan dengan governance yang baik.
- Dalam jangka pendek, implementasi AEOI (Automatic Exchange of Information) perlu dibarengi kesiapan infrastruktur yang memberi kemudahan dan menjamin akurasi data, analisis, dan tindak lanjut. Fokus kepada wajib pajak yang tidak patuh, didukung data akurat, dan analisis yang kredibel merupakan pilihan terbaik dan akan berdampak bagi peningkatan kepatuhan pajak secara signifikan.
- Kinerja DJBC dari sisi pencapaian target lebih baik dibandingkan kinerja DJP. Dari sisi kepabeanan, optimalisasi fungsi pengawasan dan fasilitasi terus dilakukan dan memberi daya dukung bagi kinerja perekonomian nasional. Pertumbuhan kinerja penerimaan Kepabeanan dan Cukai kuartal-I 2018 sebesar 15,84% year-on-year. Capaian gemilang kinerja DJBC ini tak pelak hasil kontribusi kinerja penerimaan dari sektor cukai, terutama Cukai Hasil Tembakau (CHT). Pada kuartal I-2018, pertumbuhan penerimaan cukai mencapai 16,2%. Kenaikan ini merupakan kontribusi kenaikan tarif tertimbang sebesar 11,68% maupun kebijakan dari DJBC berupa pembayaran pelunasan maju pembelian pita cukai secara kredit, di samping pengawasan yang lebih baik.
- Kami juga mengapresiasi Kementerian Keuangan yang menerbitkan PMK No. 146/PMK.010/2017 yang memberikan roadmap simplifikasi tarif cukai rokok. Indonesia adalah salah satu negara dengan struktur tarif cukai terkompleks di dunia. Kompleksitas tersebut mengakibatkan maraknya praktik excise avoidance agar tarif yang dikenakan adalah tarif yang lebih rendah. Bahkan, praktik excise avoidance ini diduga juga dilakukan oleh perusahaan besar. Dapat dibayangkan dampak yang ditimbulkan apabila insentif bagi perusahaan kecil justru dimanfaatkan perusahaan rokok besar. Di satu sisi terjadi persaingan yang tidak adil, penerimaan terganggu, dan misi pengendalian pun akan meleset.
- Untuk mendukung pencapaian target penerimaan DJBC, kami mendukung upaya ekstensifikasi barang kena cukai yang didasarkan pada pertimbangan perlunya pengendalian konsumsi terhadap barang yang menciptakan eksternalitas negatif bagi masyarakat. Konsistensi dan keteguhan hati Pemerintah diuji sekaligus perlu terus diyakinkan, semata-mata bagi kebaikan publik.
Demikian siaran pers ini disampaikan dengan harapan dapat menjadi bahan diskusi publik dan disebarluaskan sebagai bagian literasi perpajakan bagi masyarakat luas.
Atas perhatian dan kerjasama yang baik dihaturkan terima kasih.
Salam hormat
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif