Siaran Pers

Press Release: “Mendorong Kepastian Hukum Pajak Industri Sektor Pertambangan”

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
Press Release
“Mendorong Kepastian Hukum Pajak Industri Sektor Pertambangan”

Pemerintah sedang berupaya keras untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, yang saat ini masih didominasi oleh konsumsi Rumah Tangga (RT), sebesar 2,69% dari total pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,07%, disusul oleh investasi sebesar 1,98%. Disaat stagnasi konsumsi Rumah Tangga, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi akan bertumpu pada investasi. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong investasi, antara lain kepastian hukum, stabilitas politik, debirokratisasi, dan kesinambungan kebijakan fiskal. Bertolak dari beberapa putusan sengketa pajak, khususnya Pajak Daerah, dan kajian beberapa lembaga ternama seperti Fraser Institute, kami menyampaikan beberapa pandangan berikut:

1. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pemerintah Daerah diberi otonomi yang lebih luas untuk mengatur wilayahnya sendiri. Idealnya, penyelenggaraan pemerintahan daerahdibiayai oleh daerah itu sendiri. Akan tetapi, capaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dan basis pajak daerah masih terbatas. Kontribusi Dana Perimbangan masih mendominasi. Artinya, Pendapatan Daerah masih bergantung pada kinerja penerimaan Pemerintah Pusat melalui beberapa skema.

2. Lembaga seperti OECD dan Fraser Institute menemukan hubungan antara kepastian hukum dan investasi. Temuan mereka antara lain menempatkan kebijakan fiskal dan kepastian hukum sebagai determinan utama pertimbangan investasi. Fraser Institute (2018) bahkan menempatkan Indonesia pada kondisi rentan karena nilai investasi berbanding lurus dengan kepastian hukum dan stabilitas politik. Investor hanya akan berinvestasi di Indonesia jika mendapatkan kepastian, baik dari segi hukum maupun stabilitas politik, termasuk pajak dan biaya-biaya lainnya yang bernilai wajar serta dapat diprediksi untuk jangka panjang. Hal ini diperlukan agar investor dapat menyusun program investasi jangka panjang.

3. Namun demikian, upaya Pemerintah Daerah dalam menggenjot PAD memiliki konsekuensi dan kerap dilematis. Jika tidak disertai kompetensi, kehati-hatian, dan helicopter view yang komprehensif, langkah ini justru berdampak pada tax uncertainty di dunia usaha. Yang sudah terjadi antara lain pada industri pertambangan yang sifatnya padat modal dan jangka panjang.Sebab, upaya menggenjot PAD tidak disertai dengan pemahaman mendalam dari petugas pajak daerah terhadap konsep pemungutan pajak daerah dalam fase perpindahan dari rezim Kontrak Karya dan Perjanjian Karya serta PKP2B, menuju Izin Usaha Pertambangan.

4. Kondisitersebut diperparah dengan peran Pengadilan Pajak sebagai tempat para wajib pajak mengharapkan putusan yang adil, objektif, profesional, dan menjadi sarana korektif terhadap praktik pemungutan pajak yang menyimpang ─yang belum dapat sepenuhnya diharapkan.Putusan Pengadilan Pajak seringkali tidak mencerminkan keadilan bagi para pihak, sebab tidak mempertimbangkan fakta-fakta dan kaidah-kaidah hukum secara saksama. Dengan demikian, putusan yang dihasilkan justru menciptakan ketidakpastian baru.

5. Bagi pelaku usaha pemegang Kontrak Karya/Perjanjian Karya/PKP2B misalnya, pemungutan pajak seharusnya menggunakan skema nailed-down.Nailed-down adalah skema pemungutan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak atau saat perizinan diberikan (statis, misalnya berlaku di Kontrak Karya dan PKP2B Generasi I dan II), sebagai contoh tarif PPh Badan yang berlaku adalah statis sebesar 35%. Prevailing adalah pemungutan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu (dinamis, misalnya berlaku sesuai UU No. 4/2009), atau kondisi saat ini tarif PPh Badan 25%. Penerbitan SKPD yang dilakukan Pemda merupakan gambaran dari ketidakpahaman pejabat daerah dan petugas pajak daerah terhadap konsep pemungutan pajak daerah dan kaitannya dengan kebijakan fiskal nasional, serta minimnya pengawasan terhadap pemungutan pajak daerah.

6. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) oleh Pemda kepada para pelaku usaha pertambangan yang masih memegang Kontrak Karya/Perjanjian Karya/PKP2B menciptakan ketidakpastian karena berdasarkan Kontrak, perusahaan tidak diwajibkan membayar beberapa Pajak Daerah yang tidak diatur dalam kontrak (nailed down). Hal ini akan menimbulkan perselisihan antara petugas pemungut pajak daerah dan pelaku bisnis. Tanpa adanya muara penyelesaian sengketa yang kredibel dan berkepastian hukum, proses penyelesaian sengketa ini akan berdampak pada penurunan kepercayaan investor kepada Indonesia.

7. Dalam beberapa kasus, misalnya kasus PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), Pemerintah Daerah menerbitkan beberapa SKPD Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) berdasarkan UU PDRD No. 28 Tahun 2009 (prevailing). Padahal berdasarkan Kontrak Karya, PT NNT seharusnya tidak wajib membayar pajak daerah.Atas beberapa SKPD PKB tersebut, PT NNT mengajukan keberatan di tolak. Keputusan-keputusan keberatan tersebut diajukan banding ke Pengadilan Pajak. Tetapi putusan yang dihasilkan oleh Majelis Hakim berbeda satu sama lain. Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus sengketa SKPD PKB A menyatakan menerima banding PT NNT, sedangkan Majelis Hakim yang memeriksa sengketa SKPD PKB B menolak. Padahal sengketa-sengketa tersebut serupa. Terlepas dari independensi Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara, putusan yang berbeda atas beberapa kasus yang serupa tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan.

8. In casu, atas sengketa SKPD PKB A yang dinyatakan diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, Gubernur NTB mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali. Dengan kata lain, Mahkamah Agung memperkuat kedudukan Kontrak Karya. Di samping itu, atas putusan SKPD PKB Byang ditolak Majelis Hakim Pengadilan Pajak, PT NNT juga mengajukan Peninjauan Kembali dan dikabulkan permohonannya oleh Mahkamah Agung. Sama halnya dengan Mahkamah Agung yang mengadili sengketa SKPD PKB A, Mahkamah Agung yang mengadili sengketa SKPD PKB B juga memperkuat kedudukan Kontrak Karya. Artinya, Mahkamah Agung telah satu suara untuk memperkuat Kontrak Karya sebagai dasar hukum kegiatan usaha yang bersangkutan, termasuk mengenai pemungutan pajaknya.

9. Studi kasus lainnya yaitu penerbitan SKPD Pajak Air Permukaan (PAP) atas pemanfaatan air permukaan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) juga mendapatkan putusan yang tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum. Beberapa hal tidak dipertimbangkan dengan matang oleh Majelis Hakim, antara lain: 1)fotocopy surat rekomendasi dinilai meragukan, sehingga Kontrak Karya dinilai tidak sah secara hukum. Padahal surat rekomendasi asli seharusnya disediakan oleh Pemerintah; 2) Kontrak Karya tidak termasuk dalam hierarki dalam UU No. 12 Tahun 2011, sehingga lex specialis tidak berlaku. Padahal Pasal 1338 KUHPer menyebutkan perjanjian adalah perikatan yang sah dan berlaku selayaknya UU bagi para pihak (pacta sunt servanda); 3) Menurut penafsiran majelis, Pasal 18 (2) ii Kontrak Karya mengatur tentang “air permukaan untuk mengalirkan tailing dikenakan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu”. Padahal pasal tersebut hanya mengatur “pemberian hak untuk membangun fasilitas; 4) Menurut majelis, proses pengaliran tailing menyebabkan terganggunya ekosistem sungai, sedangkan Pasal 13 Kontrak Karya jo. Perda No. 5 Tahun 1990 menyebutkan pengenaan pajak hanya didasarkan pada jumlah air yang dimanfaatkan, bukan efek samping pemanfaatan air terhadap ekosistem.

10. Terhadap Putusan penolakan dari Majelis Hakim Pengadilan Pajak, Mahkamah Agung telah membatalkan Putusan Pengadilan Pajak. Selanjutnya, Mahkamah Agung dalam putusannya menerima permohonan Peninjauan Kembali PTFI dengan pertimbangan: 1) Dalam doktrin hukum KK yang telah disetujui oleh Pemerintah R.I. setelah mendapat rekomendasi dari DPR dan Departemen terkaitmengikat dari Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah; 2)Sesuai dengan Surat Menkeu No. S-1032/MK.04/1988 15 Desember 1988, Kontrak Karya bersifat lex specialls derograt lex gerali dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya (vide 1338 ayat (1) KUHPerdata); 3) Sifat kekhususan memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum yang sama tanpa ada perbedaan perlakuan dalam pelayan hukum; 4) Perikatan atau perjanjian harus dijalankan dengan itikad baik (vide Pasal1338 ayat (3) KUHPerdata); 5) Perkara ini pada dasarnya merupakan kebijakan fiskal yang merupakan otoritas pemerintah pusat (Menteri Keuangan) dan merupakan sistem dan bagian dari suatu kebijakan fiskal. Sama seperti Mahkamah Agung yang mengadili sengketa PT NNT, Mahkamah Agung yang mengadili sengketa PTFI juga menguatkan kedudukan Kontrak Karya/Perjanjian Karya/PKP2B.

11. Sebagai badan peradilan yang independen, Pengadilan Pajak seharusnya menjadi muara bagi masyarakat untuk mencari keadilan dan kepastian hukum. Oleh karena itu, diperlukan reformasi di badan peradilan pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang tengah gencar dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, Pengadilan Pajak berperan sebagai agent of change karena telah menciptakan kepastian hukum dan menjadi tempat untuk mencari keadilan yang hakiki. Reformasi dapat mencakup peningkatan standar rekrutmen hakim pajak, peningkatan kompetensi dan integritas hakim, tata cara peradilan yang mudah, mudah, efektif, dan transparan, serta supervisi atau pengawasan yang lebih baik. Maka kami meminta Mahkamah Agung menaruh perhatian lebih besar bagi reformasi Pengadilan Pajak, dan mendorong Komisi Yudisial untuk melakukan supervisi terhadap Pengadilan Pajak.

12. Di samping itu, kami juga mendorong Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian ESDM berkoordinasi dan melakukan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, melalui peningkatan kompetensi, penyusunan pedoman teknis dan standardisasi pelaksanaan tugas, serta membuat mekanisme reward and punishment yang mendorong kepastian hukum dan good governance.

Demikian pandangan ini disampaikan sebagai kontribusi bagi perbaikan tata kelola sektor fiskal dan peradilan pajak, dengan harapan dapat mendukung peningkatan kualitas kebijakan publik yang semakin bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Jakarta, 9 Mei 2018
Hormat kami

Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *