Belakangan ini masyarakat dipenuhi beragam sentimen negatif dan menjadi skeptis terhadap kinerja Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Mulai dari kasus denda sepatu impor, penahanan barang kiriman seperti alat bantu disabilitas, dan kasus lainnya.
Melihat kepercayaan masyarakat kini tercoreng, Kepala Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan DJBC Kementerian Keuangan perlu memperbaiki pelayanan dan meningkatkan pengawasan internal. Sebab menurutnya, masalah utama beberapa pekan terakhir ini adalah kepercayaan publik.
“Membangun kepercayaan publik perlu dirasakan oleh masyarakat melalui perbaikan pelayanan. Membangun kepercayaan publik perlu dilakukan melalui peningkatan pengawasan internal agar tidak ada oknum-oknum yang nakal,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima, Rabu (8/5).
Fajry menerangkan, membangun kepercayaan publik bisa dilakukan melalui perbaikan birokrasi dan administrasi agar mencegah adanya penyelewengan. Selain mengandalkan komunikasi publik, ia menyarankan DJBC perlu aksi perubahan nyata yang bisa dilihat dan dirasakan masyarakat.
Menurutnya, DJBC perlu terbuka terhadap kritik khalayak. Sebab, kritik yang dilontarkan terhadap otoritas kepabeanan dan cukai penting untuk membangun birokrasi yang lebih baik, mengingat DJBC berperan besar dalam ekonomi terkait arus barang antar yurisdiksi.
Ia bahkan melihat instansi tersebut terlalu besar untuk dibekukan atau bahkan dibubarkan. Sejalan dengan itu, langkah paling depan yang bisa dilakukan DJBC yakni melakukan sosialisasi, karena tidak semua lapisan masyarakat mengerti hukum dan regulasi yang tengah berlaku.
Tiga Langkah Strategis
Pengamat Pajak CITA itu juga memaparkan otoritas kepabeanan sedikitnya bisa melakukan tiga butir upaya. Pertama, para petugas DJBC di lapangan perlu memberikan informasi yang lengkap mengenai ketentuan yang berlaku serta proaktif memberi informasi terkait persyaratan.
“Intinya, perlu perbaikan dalam memberikan pelayanan, terutama perlu lebih informatif. Terlebih, akan banyak masyarakat umum yang melakukan impor barang kiriman sebagai dampak dari digitalisasi,” terang Fajry.
Kedua, perlu evaluasi regulasi atau kebijakan. Perlu kemudahan regulasi terutama regulasi yang mengatur terkait persyaratan. Menurut Fajry, salah satu kasus yang ramai di publik terkait persyaratan fasilitas. Begitu pula dengan ketentuan terkait larangan terbatas (Lartas) yang perlu melakukan benchmarking best practice.
Ketiga, DJBC perlu mengevaluasi besaran bea masuk dan sanksi. Fajry menilai keriuhan publik terjadi karena besaran kepabeanan dan sanksi atas PDRI yang ditanggung oleh masyarakat tidak sebanding dengan nilai impor.
Untuk sanksinya, DJBC perlu mengubah paradigma sanksi yang besar akan membuat orang patuh. Kemudian, perlu mengevaluasi tarif terkait PDRI terutama besaran tarif PPh 22 Impor yang naik drastis dalam satu dekade terakhir, serta tarif bea masuk atas beberapa produk yang naik dalam beberapa waktu terakhir.
Terakhir, Fajry menilai pentingnya koordinasi antar Kementerian dan Lembaga karena ketentuan barang kiriman tidak hanya menjadi ranah DJBC, tapi juga Kementerian dan Lembaga (K/L) seperti Kementerian Perdagangan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI.
“Untuk itu, dalam evaluasi regulasi perlu melibatkan K/L Lainnya serta dalam melakukan sosialisasi agar tidak semua beban sosialisasi menjadi beban dari otoritas kepabeanan terlebih bukan kebijakan Kemenkeu,” tutupnya.
Sumber: https://validnews.id/ekonomi/ramai-sentimen-negatif-ke-djbc-pengamat-sarankan-peningkatan-pengawasan-internal