Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
Siaran Pers
“PP No. 36/2017: Ikhtiar Menjamin Kepastian dan Memenuhi Rasa Keadilan?”
Setelah dinanti-nanti, akhirnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan. Meski agak terlambat dan terbit cukup lama dari berakhirnya Program Pengampunan Pajak, terbitnya PP ini patut diapresiasi karena memberikan kejelasan kebijakan pasca-pengampunan pajak. Dalam pelaksanaannya, kami memandang perlu dicermati beberapa hal agar tetap terjaga situasi yang kondusif. Terkait hal tersebut, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut.
1. Kami menyambut baik terbitnya PP Nomor 36 Tahun 2017 sebagai aturan turunan dan penegasan terhadap beberapa ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Terbitnya PP ini memberi kejelasan dan kepastian baik bagi otoritas pajak (Ditjen Pajak) maupun wajib pajak mengenai hak dan kewajiban pasca pengampunan pajak.
2. PP ini merupakan pelaksanaan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, dan pada prinsipnya mengatur pengenaan pajak penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan dan dikenai PPh final. Harta dimaksud adalah harta yang yang tidak dilaporkan dalam rangka pengampunan pajak atau tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan.
3. Hemat kami, sangat tidak beralasan apabila terbitnya PP ini dipandang sebagai sikap represif dan wujud agresivitas Pemerintah dalam memungut pajak. Hal ini dikarenakan substansi dan konsekuensi UU Pengampunan Pajak yang sudah sangat jelas. Negara merelakan kewenangannya untuk tidak melakukan penegakan hukum secara keras. Masyarakat wajib pajak telah diberi kesempatan selama sembilan bulan untuk memanfaatkan program pengampunan pajak yang menghapus pajak terutang dan sanksi administrasi/pidana dengan membayar uang tebusan yang relatif rendah. Tanggung jawab terhadap risiko yang timbul dari UU Pengampunan Pajak merupakan konsekuensi kebebasan dan pilihan yang diberikan UU.
4. Ketiadaan ketentuan dan sarana penegakan hukum yang jelas dan tegas, justru akan mengesankan inkonsistensi Pemerintah dan DPR, mendistorsi maksud dan tujuan pengampunan pajak itu sendiri, dan dapat menurunkan kredibilitas. Wajib Pajak yang sungguh-sungguh jujur melaporkan seluruh harta, membayar uang tebusan, dan berkomitmen menjadi wajib pajak patuh akan merasa diperlakukan tidak adil. Sebaliknya, mereka yang dengan sengaja memilih untuk menjadi wajib pajak yang tidak patuh dan tidak memanfaatkan pengampunan pajak, tidak mendapat disinsentif atau penalti atas ketidakpatuhannya.
5. Kami berharap Pemerintah tetap tegas dan tidak goyah, terutama menghadapi kekhawatiran yang berlebihan dari beberapa pihak yang selalu menuntut kemudahan, keringanan, dan cenderung menakut-nakuti, yang justru patut diwaspadai memiliki motif dan agenda terselubung yakni ditunggangi para pengemplang pajak yang ingin menjadi pembonceng gelap pembangunan bangsa dengan mengelabui aturan pajak.
6. Ditjen Pajak diharapkan segera melakukan tindak lanjut atas harta yang ditemukan dengan memprioritaskan wajib pajak yang tidak mengikuti program pengampunan pajak. Selain karena sempitnya waktu, yakni sebelum 1 Juli 2019, juga untuk memberi kelonggaran dan apresiasi bagi wajib pajak yang telah mengikuti program pengampunan pajak, kecuali terhadap wajib pajak peserta tax amnesty yang nyata-nyata terbukti tidak jujur. Tindak lanjut hendaknya tetap didasarkan pada prinsip kehati-hatian, profesional, akuntabel, transparan, terukur, dan dilakukan terhadap data akurat yang tidak berpotensi menimbulkan sengketa pajak.
7. Mengingat situasi dan kondisi ekonomi dan politik yang dinamis, jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang standar menjadi hal yang amat penting. Untuk itu Dirjen Pajak diharapkan melakukan sosialisasi yang baik kepada petugas pajak dan wajib pajak, menjamin interpretasi tunggal dan perlakuan yang konsisten terutama sasaran penegakan hukum, nilai harta, penyelesaian sengketa, dan mencari jalan keluar bagi kemungkinan penghapusan sanksi yang timbul terkait pelaksanaan UU No. 11/2016 dan PP 36/2017 ini. Prinsip-prinsip perpajakan universal seperti kepastian hukum, keadilan, proporsionalitas, dan in dubio contra fiscum (dalam hal terdapat keraguan/ketidakjelasan, memenangkan wajib pajak) perlu dijadikan pedoman.
8. Kami merasa perlu mengajak dan ikut meyakinkan masyarakat wajib pajak untuk tetap tenang, tidak perlu khawatir, dan tetap proporsional dalam merespon kebijakan Pemerintah karena hak dan kewajiban wajib pajak dijamin oleh Undang-undang. Wajib pajak juga tetap dapat membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan melaporkan harta dimaksud ke kantor pajak. Di sisi lain, Ditjen Pajak sesuai UU mempunyai kewenangan untuk menguji kepatuhan wajib pajak melalui pemeriksaan apabila ditemukan bukti kuat bahwa masih terdapat penghasilan yang belum ditunaikan kewajiban pajaknya.
9. Kita memasuki era baru perpajakan, dimulai dengan pelaksanaan Program Pengampunan Pajak, penerbitan Perppu No. 1/2017 (menjadi Undang-undang Nomor 9/2017), PP Nomor 36/2017, dan proyek Reformasi Perpajakan. Perjalanan membangun sistem perpajakan yang adil, kuat, akuntabel, transparan, dan berintegritas masih panjang, maka mengundang keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat aktif mengawal agar dapat segera terwujud. Proyek Reformasi Pajak juga seyogianya secara aktif melibatkan masyarakat wajib pajak untuk terlibat dan berpartisipasi.
10. Masa depan perpajakan yang cerah harus diawali dengan fajar baru yang merekah, yakni komunikasi timbal balik yang dilandasi sikap saling percaya. Dua kaki sistem perpajakan yang kokoh adalah kesadaran dan kepercayaan wajib pajak (awareness and trust in authorities) dan kemampuan otoritas pajak melakukan penegakan hukum secara efektif (power of authorities). Pajak adalah nadi bangsa sehingga harus dijaga dan dihidupi bersama. Penting kiranya mengedepankan praktik pemungutan pajak yang persuasif, terukur, objektif, profesional, memberikan insentif yang tepat, pelayanan terbaik atas hak wajib pajak, menyusun skala prioritas dengan baik, dan model komunikasi yang elegan. Di sisi lain, pasca-amnesti wajib pajak juga harus mengubah paradigma lama dan meninggalkan praktik-praktik lama menuju kesadaran dan praktik baru sebagai wajib pajak yang patuh sesuai Undang-undang.
Demikian siaran pers ini disampaikan sebagai bentuk advokasi terhadap pentingnya pajak dan reformasi pajak yang komprehensif, berkeadilan, dan berkepastian hukum, demi terwujudnya Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
Jakarta, 27 September 2017
Salam hormat
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif