CITAX H1

Capaian PNBP Merosot, Jokowi Diminta Evaluasi Kinerja Kejagung

1360317542BERITASATU.COM | 29 SEPTEMBER 2015

Jakarta – Krisis ekonomi yang terjadi saat ini membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus terus mencari langkah untuk mengantisipasinya. Salah satunya mengharapkan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di Kejaksaan Agung (Kejagung).

Sayangnya, PNBP Kejagung dibawah kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo dalam Semester I tahun 2015, hanya mampu menghasilkan Rp 41,8 miliar saja. Jumlah tersebut jauh dari PNBP Kejaksaan 2014 era Basrief Arief yang mencapai Rp 3,4 Triliun.

Menyikapi kondisi demikian, pengamat ekonomi hukum, Yustinus Prastowo berpendapat, seyogyanya pihak Kejagung menyadari bahwa peran PNBP sebenarnya sangat besar dan strategis. Karena terkait erat dengan pelayanan langsung yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, sehingga potensinya besar.

Sayangnya, kata dia, kejaksaan era Presiden Joko Widodo, pengelolaan administrasi sektor PNBP lambat sekali. Adanya paradigma PNBP hanya dipakai untuk membiayai kegiatan kementerian atau lembaga terkait, bukan menunjang penerimaan negara. Jadi, dari sisi pemungutan dan pemanfaatan belum tepat.

“Apalagi, ditambah perencanaan dan pengawasan yang belum bagus. PNBP kejaksaan kan berarti terkait eksekusi putusan hakim, termasuk perampasan aset pelaku kejahatan. Namun baik perencanaan, transparansi serta akuntabilitas kejaksaan era Jokowi saat ini sangat kurang,” kata Yustinus di Jakarta, Senin (28/9).

Seharusnya, kata Yustinus, Jaksa Agung HM Prasetyo meniru apa yang dilakukan Mantan Jaksa Agung Basrief Arief yang mampu mengoptimalkan PNBP melalui eksekusi pidana denda Asian Agri Rp2,5 Triliun di tahun 2014.

“Uang triliunan tersebut sudah masuk kas negara. Prestasi kejaksaan saat itu meningkat tajam. Jika semester I tahun ini hanya Rp41 miliar, wah itu kecil sekali. Butuh keseriusan dan perbaikan administrasi,” kata Yustinus.

Perbaikan administrasi yang dimaksud Yustinus adalah mencakup kompetensi dan integritas sumber daya manusia pimpinannya. Faktor minimnya PNBP yang disetor ke kas negara oleh Kejaksaan, salah satunya perencanaan yang sangat buruk, lalu integritas pegawai, ketiga keengganan memungut dan mengeksekusi kasus besar yang sensitif.

Kondisi ketidakmampuan kejaksaan ini, saran dia, sebaiknya perencanaan PNBP segera diintegrasikan di Kemenkeu sehingga pengawasannya multipihak.

Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, minimnya perolehan PNBP Kejaksaan pada semester I tahun 2015 ini lebih dikarenakan faktor kepemimpinan.

“Saya kira ini persoalan minimnya perolehan PNBP ini terletak pada pimpinan kejaksaan. Mulai dari Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda Pembinaan harus bertanggungjawab atas merosotnya penerimaan PNBP,” kata Uchok.

Ia menambahkan, kondisi demikian membuktikan bahwa kejaksaan tidak peduli dengan kondisi ekonomi Indonesia yang tengah krisis. Dengan besarnya PNBP yang masuk ke kas negara, tentu dapat membantu kondisi perekonomian saat ini. Harusnya kejaksaan bisa mengoptimalkan perannya.

“Masa PNBP semester I hanya Rp 41 miliar. Ini kan lucu, Jaksa Agung Prasetyo kinerjanya jauh dibawah kepemimpinan Basrief Arief padahal Jambin nya masih sama, yaitu Bambang Waluyo,” tegasnya.

Ia mengatakan, belum adanya Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan definitif menjadi faktor bahwa internal kejaksaan sedang ada konflik dan tidak ada keseriusan Jaksa Agung memimpin kejaksaan itu sendiri.

Dia mendesak agar Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Jaksa Agung maupun Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin). Jokowi sudah saatnya mengevaluasi kinerja keduanya. Kalau perlu periksa dan audit Jambin selama ini kerjanya apa saja sampai PNBP minim seperti itu.

“Kenyataan yang harus dihadapi sekarang merupakan imbas dari institusi penegak hukum yang dipimpin oleh politisi. Prasetyo sudah gagal memimpin. Begitu juga para Jaksa Agung Muda dibawahnya. Seperti tidak becus kerjanya,” imbuhnya.

Tak hanya itu, dirinya juga menyoroti bidang Pembinaan di Kejaksaan dalam hal pencatatan dan pelaporan PNBP di kejaksaan yang belum akurat. Pencatatan piutang denda tilang dan biaya perkara yang diputuskan verstek (tanpa kehadiran tergugat) tidak akurat dan tidak dilaporkan dalam neraca kejaksaan RI.

Begitu juga realisasi belanja barang operasional kegiatan perkantoran juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk pelaksanaan kontrak publikasi pelaksanaan tugas-tugas kejaksaan tidak sesuai dengan ketentuan dan terjadi indikasi kerugian negara.

“Jambin dan para pimpinan di Pembinaan harus bertanggungjawab,” tegasnya.

Komentar Anda