CITAX H1

Tax Amnesty Bisa Tarik Dana Ekspor Yang Terparkir Diluar Negeri? Ini Kendalanya

9898_ratusan-wajib-pajak-mengantre-menyerahkan-surat-pa_675_380_cBAREKSA.COM | 29 September 2015

Bareksa.com – Penerapan tax amnesty (pengampunan pajak) berpotensi menarik dana yang terparkir di luar negeri. Pemerintah memang belum pernah mengungkapkan jumlah pasti dana potensial tersebut. Tapi menurut beberapa sumber yang dikumpulkan Bareksa, jumlah dana yang terparkir di luar negeri tergolong fantastis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian Keuangan pada 2011, potensi dana yang mengalir dari luar negeri bisa mencapai $20 – 40 miliar atau setara Rp350 triliun jika tax amnesty diterapkan di Indonesia.

Sementara dikutip dari materi presentasi yang disusun Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), nilai aset orang Indonesia yang diparkir di luar negeri berkisar Rp3.000 – 4.000 triliun. Sumber lain, yakni Tax Justice Network pada 2010 mencatat bahwa Indonesia merupakan negara terbesar ke-9 yang menempatkan asetnya senilai $331 miliar di negara suaka pajak.

Ide tax amnesty mencuat sebagai salah satu bagian dari opsi menstabilkan kembali rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah kini sudah menembus Rp 14.700-an per dolar atau anjlok sekitar 15 persen dari awal 2015.
Tax amnesty memang berpotensi bisa menarik kembali dana valuta asing yang terparkir di luar negeri ke Tanah Air. Pada gilirannya, mata uang dolar akan mengalir lagi ke Indonesia dan berpotensi menguatkan mata uang Rupiah terhadap dolar AS. (Lihat : Luhut: Dorong Rupiah, Oktober Pemerintah Akan Keluarkan Aturan ‘Tax-Amnesty‘)

Permasalahannya, menurut penelitian yang dilakukan Kementerian Keuangan pada 2011, kebijakan pengampunan pajak ini memiliki beberapa kendala dalam penerapannya.  Pertama, nihilnya payung hukum. Tax amnesty sampai saat ini tidak mempunyai landasan hukum yang jelas. Hal tersebut menambah keraguan bagi wajib pajak dan calon wajib pajak.

Maka dari itu, untuk menerapkan tax amnesty, pemerintah perlu membuat peraturan perpajakan (undang-undang) yang mengatur mengenai hal tersebut. Ini tentunya memakan waktu lama karena harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kedua, rendahnya efektifitas. Tax amnesty sebelumnya pernah dilakukan pemerintah pada 1984 dan 2008. Namun, efektifitas pelaksanaan pengampunan pajak waktu itu masih rendah yang terukur dari rendahnya partisipasi peserta tax amnesty tersebut.

Ketiga, terkait dengan penataan yang sampai saat ini masih dalam proses. Reformasi dan penataan sistem perpajakan sedang dilakukan baik perbaikan potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi, pembangunan teknologi informasi, perbaikan sumber daya manusia serta pengawasan. Oleh karena itu, jika tax amnesty diberlakukan maka hasilnya tidak akan optimal.

Prastowo dalam materi presentasinya menilai bahwa pelaksanaan tax amnesty lebih efektif dilakukan di negara maju karena administrasi yang sudah baik dan tingkat kepercayaan yang relatif tinggi. Menurut dia, penerapan tax amnesty di negara berkembang justru bisa menurunkan penerimaan pajak. “Penyebabnya, administrasi yang belum baik dan discourage honest and comply taxpayers,” ujarnya.

Hal serupa diungkap Danny Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center, seperti diungkap dalam Inside Tax edisi Desember 2014. “Di sisi lain, tax amnesty dapat mengurangi tingkat kepatuhan di masa yang akan datang jika wajib pajak tetap mempertahankan ketidakpatuhan setelah program tax amnesty berakhir sembari berharap akan adanya tax amnesty di masa mendatang.”

 

Komentar Anda