CITAX Headline

‘Dag Dig Dug’ Berburu di Hutan Rimba Pajak 2018

Jakarta, CNN Indonesia — Setiap tahun tanpa absen, penerimaan pajak yang kurang dari target (shortfall) selalu menjadi risiko yang ditanggung oleh bendahara negara, tentunya juga menyulitkan arus dana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jika shortfall penerimaan pajak terlalu besar, pemerintah memiliki dua alternatif. Dari sisi pemasukan, pemerintah bisa menambah utang untuk membiayai kebutuhan belanja. Sementara, dari sisi pengeluaran pemerintah dapat melakukan pemangkasan belanja.

Kedua opsi tentu tidak populer di mata publik, namun harus diambil mengingat pemerintah terikat ketentuan defisit yang dipatok Undang-undang tak boleh lebih dari tiga persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Berdasarkan anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) 2018, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp1.385,9 triliun. Artinya, pemerintah menggantungkan sekitar 62,41 persen dari total belanja negara untuk dibiayai oleh pajak.

Masyarakat tentu ingin mengetahui lebih jauh kinerja pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak.

Secara teori, penerimaan pajak bakal tumbuh secara alami sejalan dengan pertumbuhan ekonomi ditambah dengan tingkat inflasi.

Jika asumsi pertumbuhan ekonomi tahun depan dalam APBN 2018 mencapai 5,4 persen dan tingkat inflasi dipatok di level 3,5 persen, maka secara alami penerimaan pajak tahun depan bisa tumbuh setidaknya 8,9 persen dibandingkan tahun ini.

Apabila pemerintah menginginkan pertumbuhan yang lebih tinggi maka diperlukan upaya ekstra dari otoritas pajak. Misalnya, upaya penggalian pajak dari wajib pajak dan obyek pajak yang sudah ada (intensifikasi) maupun perluasan subjek dan obyek pajak (eksteksifikasi).

Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai, target penerimaan pajak tahun depan kurang realistis. Pasalnya, proyeksi penerimaan pajak tahun ini diperkirakan maksimal hanya akan mencapai Rp1.135 triliun atau bakal meleset dari target (shortfall) minimal Rp147 triliun. Hal itu berdasarkan capaian penerimaan pajak per akhir September 2017, yang baru mencapai Rp770,7 triliun atau di kisaran 60 persen.

“Dari perhitungan tersebut, berarti target penerimaan pajak di tahun 2018 dipatok tumbuh minimal 18 persen dari realisasi 2017. Padahal, selama tiga tahun terakhir laju pertumbuhan penerimaan pajak hanya kurang dari 10 persen,” ujar Darussalam kepada CNNIndonesia.com, Rabu (25/10).

Penerimaan pajak tahun depan, lanjut Darussalam, bisa saja tumbuh mencapai dua digit atau di kisaran Rp1.248,5 triliun dengan shortfall sebesar Rp137,4 triliun, berkat perbaikan basis data dari sistem keterbukaan dan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) dan program amnesti pajak. Kendati demikian, menurut Darussalam, untuk bisa menyentuh angka pertumbuhan 18 persen masih terlalu berat.

Karena itu, pemerintah perlu melakukan perubahan paradigma dalam mengelola kepatuhan pajak agar pertumbuhan pajak bisa tumbuh sesuai target. Dalam hal ini melalui kepatuhan kooperatif (cooperative compliance) di mana antara otoritas pajak dan wajib saling terbuka dan saling percaya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai sebenarnya, target pertumbuhan pajak tahun depan relatif lebih moderat dibandingkan target tahun ini. Karenanya, ia memperkirakan penerimaan tahun depan bisa terealisasi hingga 97 persen dari target atau di kisaran Rp1.344,32 triliun. Dengan asumsi, penerimaan pajak tahun ini bisa mencapai perkiraan optimistis sebesar Rp1.180, 91 triliun atau 92 persen dari target.

Yustinus beralasan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki potensi untuk mendongkrak penerimaan melalui optimalisasi AEoI yang berlaku efektif tahun depan. Kemudian, tindak lanjut program amnesti pajak melalui implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 juga bisa lebih optimal tahun depan. Sebagai pengingat, PP 36/2017 merupakan aturan turunan terkait perlakuan harta yang belum dilaporkan oleh peserta amnesti pajak maupun yang bukan peserta amnesti pajak.

“Dengan dua itu (AEoI dan PP36/2017), secara teoritik, DJP bisa berkinerja lebih baik dibandingkan tahun ini,” ujar Yustinus.

Kendati demikian, risiko shortfall yang lebih lebar masih bisa terjadi jika pertumbuhan ekonomi tak sesuai harapan. Biasanya, lesunya pertumbuhan ekonomi bakal berdampak langsung pada setoran pajak pertambahan nilai (PPN).

“Ekonomi hampir bisa dipastikan tumbuh akan sekitar itu [5 persen]. Artinya masih stagnan, itu tidak baik, apalagi pembenahan administrasi itu membutuhkan waktu,” ujarnya.

Dalam kondisi demikian, otoritas pajak jangan terlalu agresif mengeluarkan kebijakan yang bakal kontra produktif terhadap perekonomian.

“Hal paling penting adalah meningkatkan pengawasan kepada wajib pajak sehingga kepatuhannya meningkat. Ini tidak akan mengganggu perekonomian karena yang ditingkatkan kepatuhannya, tidak menarik pajak lebih tinggi dari yang seharusnya,” ujarnya.

Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai seharusnya pemerintah lebih berhati-hati dalam menetapkan asumsi makro pertumbuhan ekonomi mengingat hal itu akan berdampak pada proyeksi penerimaan pajak. Menurut Faisal, loncatan target pertumbuhan ekonomi tahun depan terlalu tinggi melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan berkisar 5,1 persen.

“Tahun 2017 saja, target pertumbuhan ekonomi kan tadinya 5,2 persen, untuk pertumbuhan 5,1 persen saja saya pikir tidak akan tercapai tahun ini,” ujarnya.

Tak ayal, ia pun khawatir otoritas pajak bakal melakukan cara agresif untuk mengejar target penerimaan pajak yang akan berdampak secara psikologis terhadap pelaku usaha maupun konsumen.

“Pelaku usaha bisa menahan ekspansi dan konsumen menahan konsumsi,” jelasnya.

Selain itu, utang pemerintah tahun depan juga berisiko membengkak guna membiayai defisit anggaran. Jika defisit negara terlalu lebar, pemerintah juga akan kembali melakukan penghematan belanja. Hal itu berisiko menahan laju pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah sendiri optimistis realisasi pajak tahun ini bisa mencapai Rp1.241,8 triliun atau setara dengan 96,74 persen dari target Rp1.283,6 triliun.

Artinya, pemerintah meyakini target penerimaan pajak tahun depan hanya meningkat 11,6 persen dibandingkan proyeksi penerimaan tahun ini.

Dengan asumsi pertumbuhan alami penerimaan pajak sebesar 8,9 persen, realisasi penerimaan pajak tahun ini setidaknya bisa mencapai Rp1.352,32 triliun. Pertumbuhan 2,7 persen sisanya bisa diperoleh dari upaya ekstra dari petugas pajak.

Guna mengamankan penerimaan pajak tahun depan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bakal menggunakan lima jurus.

Pertama, pemerintah bisa meningkatkan basis pajak dan mencegah praktik penghindaran pajak dan erosi perpajakan (base erosion profit shifting) melalui dukungan sistem keterbukaan dan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI).

Kedua, penguatan data dan sistem informasi perpajakan. Ketiga, peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Keempat, pemberian insentif perpajakan, melalui tax holiday dan tax allowance, serta mereviu kebijakan exemption tax pada beberapa barang kena PPN.

Terakhir, pemerintah bakal mengupayakan penguatan sumber daya manusia dan regulasi, melalui peningkatan pelayanan dan efektivitas organisasi.

Sumber: CNNINDONESIA.COM, 26 Oktober 2017

Komentar Anda