CITA | 29 Februari 2016
Dinamika Harga Minyak Dunia Sebagai Momentum Reformasi Kebijakan Energi
Oleh Muhammad Fajar Nugraha
Perkembangan harga minyak dunia akhir-akhir ini sering menjadi headline media bisnis dan menjadi topik yang seru untuk diperbincangkan. Sebagai salah satu komoditas paling berharga di dunia ini, minyak mengalami penurunan harga secara drastis hanya dalam kurun waktu satu tahun. Harga minyak Brent dan WTI telah mencapai titik terendahnya dibawah $ 28 per barel pada akhir Januari 2016 setelah sebelumnya sempat mencapai lebih dari $ 140 per barel pada tahun 2008. Sejauh yang kita ketahui bahwa jatuhnya harga minyak didorong oleh kelebihan pasokan minyak, salah satunya berasal dari shale oil Amerika Serikat yang membanjiri pasar serta dorongan pasokan minyak dari OPEC. Selain itu, pada saat yang bersamaan jatuhnya permintaan akan komoditas energi karena perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang serta rencana sekitar 38 juta barel minyak dari Iran siap memasuki pasar setelah dihapuskannya sanksi embargo Iran turut menarik harga minyak dunia semakin jatuh.
Dinamika yang begitu cepat dalam perubahan harga minyak ini memberikan konsekuensi terhadap perubahan kebijakan ekonomi negara-negara penghasil minyak utama dunia. Perubahan kebijakan ekonomi tersebut perlu dilakukan untuk beradaptasi terhadap harga minyak yang diperkirakan tidak akan kembali mencapai USD 50 dalam waktu dekat. Negara-negara Timur Tengah saat ini sedang mengalami kesulitan finansial dan sudah memulai reformasi kebijakan untuk menanggulangi dampak negatif atas rendahnya harga minyak ini. Azerbaijan yang kondisi keuangan negaranya sangat bertumpu kepada minyak (37% PDB) saat ini telah mengajukan dana pinjaman siaga kepada institusi keuangan Brettonwoods karena kondisi keuangan negaranya yang mengalami defisit hingga -8%. Bahkan beban tersebut semakin bertambah setelah S&P menurunkan credit rating bagi negara pengekspor minyak (Arab Saudi, Oman, Bahrain, Brazil, dan Kazakhtan).
Langkah antisipasi Arab Saudi dalam menghadapi rendahnya harga minyak saat ini dilakukan dengan reformasi Aramco untuk go public dan mencabut subsidi BBM untuk menanggulangi defisit anggaran negaranya yang mencapai US$ 98 Milyar (sekitar -16% dari PDB), beberapa ekonom bahkan memberikan estimasi bahwa defisit yang dialami oleh Arab Saudi mencapai -20% dari PDB. Untuk menanggulangi hal tersebut, pada bulan Desember 2015 Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi menaikkan harga bensin sebesar 50% untuk bensin grade tinggi tanpa timbal dari SAR 0,6 menjadi SAR 0,9, sedangkan untuk bensin yang grade-nya lebih rendah naik sekitar 66% (naik 2/3 kali) menjadi SAR 0,75 dari sebelumnya SAR 0,45.
Kemudian, bagaimana dengan nasib Indonesia? Dari sisi konsumen tentunya merasa senang ketika mengisi bahan bakar untuk kendaraan mereka dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga “normal†yang biasa dibeli pada periode sebelumnya. Sebagai perbandingan, dalam kurun waktu dua tahun, harga Pertamax (kawasan Jabodetabek) telah turun -26,1% dari harga Rp 11.300,- pada Januari 2014 hingga mencapai Rp 8.350,- pada awal Februari 2016.
Di sisi lain, kondisi pelemahan harga minyak yang terus berkepanjangan dapat menekan kondisi keuangan perusahaan migas. Pelemahan tersebut memaksa perusahaan-perusahaan migas untuk memangkas biaya untuk capital expenditure maupun operational expenditure, tidak terkecuali pemangkasan tenaga kerja. Dalam praktiknya, beberapa perusahaan minyak telah memotong secara besar-besaran pos anggaran untuk investasi dan operasional dalam rangka mengurangi tekanan dalam arus kas mereka. Banyak cara dilakukan untuk melakukan efisiensi ketat seperti dengan tidak menyediakan makanan dalam rapat, mematikan lampu pada saat jam istirahat, dan mengurangi biaya sewa kantor dengan mengurangi lantai dan space dalam suatu gedung. Pergerakan harga minyak yang berubah secara drastis ini menyimpan potensi negatif yang dampaknya dapat mempengaruhi dinamika ekonomi dan politik domestik maupun global.
Apabila kondisi harga minyak ini berlangsung terus menerus, hal yang paling terkena dampaknya adalah kondisi keuangan negara serta sektor ketenagakerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja sektor riil. Beberapa perusahaan migas di Indonesia telah menawarkan pilihan kepada pegawainya untuk pensiun dini secara sukarela. Fenomena layoff pekerja sektor migas ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di beberapa Negara Eropa. Terdapat sekitar 10.000 tenaga kerja yang akan di layoff oleh salah satu raksasa migas dunia (Royal Dutch Shell), bahkan setelah itu sekitar 3.000 pekerja British Petroleum juga akan turut merasakan secara langsung dampak negatif rendahnya harga minyak ini.
Dampaknya Terhadap Keuangan Negara
Meskipun saat ini Indonesia bukanlah sebagai negara eksportir minyak, namun komponen penerimaan migas masih mempunyai peran dalam APBN. Rendahnya harga migas akan berdampak terhadap APBN dalam bentuk penerimaan pendapatan migas yang rendah. Dengan target sebesar Rp 60,28 Triliun atau 3,31% dari keseluruhan pendapatan Negara (APBN 2016), lemahnya harga minyak akan menurunkan potensi penerimaan migas. Selain itu, rendahnya harga minyak akan berdampak terhadap turunnya pendapatan perusahaan migas.
Berdasarkan hal tersebut, penerimaan pajak atas PPh badan dan juga PPh OP (karyawan) perusahaan migas akan ikut menurun. Untuk mengantisipasi pendapatan migas yang tidak tercapai dalam APBN dan untuk menyelamatkan defisit APBN, pemerintah harus segera mengoptimalkan penerimaan pajak sektor non migas sebagai kompensasi atas tidak optimalnya penerimaan pajak dari sektor migas. Optimalisasi penerimaan perpajakan tersebut harus dilakukan dengan tidak bergantung terhadap perusahaan-perusahaan migas yang notabene kondisi arus kasnya sedang tertekan.
Rendahnya harga minyak akan turut berpengaruh terhadap melemahnya nilai ekspor migas, yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja neraca pembayaran Indonesia. Agar dapat menstabilkan neraca pembayaran, pemerintah harus memiliki extra effort untuk mengoptimalkan kinerja ekspor non migas dan segera bangun dari era kejayaan emas hitam yang lama kelamaan sumber dayanya akan habis.
Dampaknya Terhadap Sektor Riil
Dimulainya fenomena layoff yang diakukan oleh perusahaan-perusahaan migas akan berdampak terhadap sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Sektor migas mempuyai peran sebesar 1,2% dari keseluruhan tenaga kerja Indonesia atau dengan kata lain sebesar 1.320 ribu orang terancam kehilangan lapangan pekerjaan. Kinerja ekonomi sektor migas, baik dari hulu (pertambangan dan penggalian) hingga hilir (industri pengolahan) masing-masing berkontribusi sebesar 3,4% dan 2,4% terhadap PDB Indonesia. Terjadinya pelemahan harga minyak dunia menyebabkan pertumbuhan pertambangan minyak dan industri pengilangan pada tahun 2015 tumbuh sebesar 0,13% dan -1,76%. Atas konsekuensi tersebut dikhawatirkan performa sektor riil Indonesia akan terganggu, yang pada akhirnya akan menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam situasi industri minyak dunia yang sedang tertekan, kiranya langkah Pemerintah dalam mencabut subsidi BBM disaat harga minyak belum terlalu bergejolak merupakan sebuah kebijakan yang patut diapresiasi. Turunnya harga minyak dunia dapat membantu Pemerintah untuk fokus pada hal yang lebih esensial, seperti pembangunan infrastruktur dan konektivitas, dibandingkan dengan melakukan subsidi yang tidak tepat guna. Dengan demikian, eksternalitas negatif harga minyak terhadap sektor riil dapat diatasi dengan meningkatkan porsi belanja negara, belanja masyarakat, dan investasi yang dialihkan untuk mengembangkan kinerja sektor non migas.
Dengan meningkatnya kesadaran dalam perubahan iklim dan pentingnya kebutuhan akan energi hijau, tekanan yang saat ini sedang dihadapi oleh industri minyak merupakan momentum bagi pemerintah dan sektor privat untuk saling bekerjasama dalam mengembangkan kebijakan energi yang lebih sustainable. Meskipun sumber daya fosil merupakan sumber energi yang murah, namun suatu saat sumber daya fosil tersebut akan habis. Para pelaku industri migas dapat mengalihkan investasinya untuk mengembangkan industri energi hijau.
Di sisi lain, Pemerintah dapat turut mendukung pelaku swasta dengan cara mengembangkan kebijakan energi yang lebih sustainable dan memberikan berbagai intensif (baik fiskal maupun kemudahan berbisnis) bagi pelaku swasta yang ingin mengembangkan. Dari sisi kebijakan fiskal, salah satu cara yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan momentum ini adalah dengan menerapkan Pajak Karbon atas konsumsi BBM yang tidak bersubsidi. Penerapan Pajak Karbon tersebut dapat memberikan tambahan penerimaan negara yang dapat disalurkan untuk mengintensifkan pengembangan sumber energi yang terbarukan. Selain itu, Pajak Karbon diharapkan menjadi salah satu instrumen yang dapat mengkompensasi potensi penerimaan migas yang saat ini sedang tertekan.
Sudah saatnya para industrialis di sektor migas melakukan reformasi dalam proses pengolahan di industri minyak, sebagaimana para industrialis zaman dahulu yang mengubah metode eksplorasi minyak yang pada awalnya mendapatkan minyak dengan cara berburu paus menjadi menggali tubuh planet bumi. Begitu juga halnya bagi Pemerintah untuk melakukan reformasi di sektor energi agar tidak terjerumus kepada jebakan Dutch Disease yang terlalu mengeksploitasi Sumber Daya Alam berbasis energi fosil. Masih terdapat berbagai alternatif sumber daya di Indonesia yang dapat dijadikan suatu sumber energi dan tentunya menjadi komoditas yang berharga untuk diperdagangkan. Hanya saja, apakah Pemerintah dan para industrialis minyak Indonesia berani untuk mengambil kesempatan dan melakukan langkah kecil bagi kebijakan energi dunia masa depan?.