Jakarta, CNN Indonesia — Kubu Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyampaikan janji mereka untuk menggenjot penerimaan perpajakan kalau nantinya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 mendatang.
Untuk Jokowi-Ma’ruf Amin, agar penerimaan bagus mereka akan mengedepankan kelanjutan program reformasi perpajakan. Sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memberi janji stimulus fiskal, seperti peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Berdasarkan dokumen visi misi masing-masing capres-cawapres yang diterima CNNIndonesia.com, kubu Jokowi-Ma’ruf menitikberatkan pengelolaan sektor fiskal melalui kebijakan reformasi perpajakan sebagai kunci peningkatan daya saing perekonomian nasional.
“Arahnya adalah untuk meningkatkan efisiensi, kemudahan berusaha, dan menciptakan level of playing field yang berkeadilan,” seperti dikutip dari paparan visi misi kubu Jokowi-Ma’ruf, Rabu (26/9).
Secara rinci, ada beberapa langkah yang akan diambil kubu petahana. Pertama, melanjutkan reformasi kebijakan fiskal untuk menghadirkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang sehat, adil, dan mandiri, serta mendukung peningkatan kesejahteraan, penurunan tingkat kesenjangan, dan peningkatan produktivitas rakyat.
Kedua, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.
Ketiga, mengoptimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan sistem yang terintegrasi serta tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel.
Keempat, memperkuat sinergi tiga pilar, berupa kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil guna memperbaiki ketersediaan sumber pembiayaan, menurunkan tingkat bunga, sekaligus mendorong produksi nasional.
Sedangkan dari kubu Prabowo-Sandi merumuskan beberapa kebijakan fiskal yang bertujuan menjadi stimulus kepada perekonomian masyarakat. Pertama, meningkatkan daya beli masyarakat dengan menaikkan batas PTKP dan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Kedua, memperbaiki tata kelola utang pemerintah dengan menggunakan hanya untuk sektor-sektor produktif yang berdampak langsung terhadap perbaikan kesejahterana rakyat, serta menghentikan praktek berutang yang tidak sehat dan tidak produktif.
“Seperti berutang untuk bayar bunga utang dan berutang untuk membayar biaya rutin. Utang baru hanya bisa ditolerir jika berbasis pada pembiayaan proyek pembangunan yang spesifik yang membuka lapangan kerja seluas-luasnya,” tulis kubu Prabowo-Sandi dalam visi misinya.
Ketiga, menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat.
Keempat, melakukan reformasi birokrasi perpajakan agar lebih merangsang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga. Kelima, meningkatkan porsi transfer ke daerah untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik di provinsi, kabupaten/kota, sampai ke desa.
Pemerhati kebijakan fiskal dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai visi misi dari kedua kubu Capres-Cawapres sejatinya belum dirinci secara komprehensif. “Khususnya soal kebijakan perpajakan, padahal pajak adalah sumber utama APBN,” ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/9).
Meski begitu, bila dilihat dari poin-poin kebijakan yang akan disampaikan masing-masing kubu, ia menilai wajar bila kubu Jokowi-Ma’ruf cukup percaya diri menekankan kelanjutan kebijakan reformasi struktural fiskal dan perpajakan.
Sebab, kebijakan tersebut memang yang saat ini tengah dijalankan pemerintah. Artinya, ada konsistensi dan komitmen kubu petahana terhadap kebijakan ini. “Yang diasumsikan ini memang on track dan in line dengan reformasi yang sedang dijalankan,” imbuhnya.
Namun, konsistensi itu juga tak luput dari kekurangan. Maklum, langkah-langkah reformasi yang dipetakan masih ada yang belum membuahkan hasil. Misalnya, revisi Undang-Undang (UU) Perpajakan, otonomi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), integrasi PNBP, peta jalan perbaikan IT, hingga optimalisasi penerimaan pajak.
“Revisi uu jika tertunda, lalu apa upaya perbaikan regulasi yang bisa menciptakan kepastian hukum? Ini yang sekarang dinantikan,” katanya.
Sementara terkait kebijakan yang dipetakan kubu Prabowo-Sandi seakan berusaha menghadirkan ‘gebrakan’. Namun, poin-poin tersebut masih harus dilihat lebih rinci manfaatnya.
Misalnya, terkait penghapusan PBB. Menurutnya, ide ini bisa diterapkan dan akan menguntungkan masyarakat, sehingga perlu dipertimbangkan ke depan bila kubu Prabowo-Sandi memenangkan Pemilu 2019. “Memang perlu insentif dan perlindungan. PBB lebih baik diubah konsepnya ke land value tax,” terangnya.
Begitu pula dengan penurunan PPh Pasal 21 untuk tarif pajak pendapatan karyawan atau kelompok menengah. Namun masalahnya, perubahan tarif PPh Pasal 21 tidak bisa dilakukan tanpa mengubah tarif PPh Orang Pribadi (OP) di uu.
“Jadi yang diperlukan adalah mengubah struktur tarif PPh OP agar lebih progresif, lapisannya ditambah, dan bracket diperlebar, sehingga terbedakan beban pajak kelompok kaya dan menengah,” jelasnya.
Ia bilang, batas ini setidaknya sudah di atas Upah Minimum Regional (UMR), sehingga belum perlu diubah. Justru, sambungnya, bila ingin ada perbaikan, lebih baik mengatur perumusan skema PTKP yang lebih adil.
“Misalnya dengan zonasi atau menambahkan komponen-komponen sebagai pengurang penghasilan yang lebih tepat sasaran,” ungkapnya.
Di sisi lain, Yustinus menilai kekurangan visi misi kubu Prabowo-Sandi terletak pada kurangnya elaborasi dari kebijakan-kebijakan yang tengah dijalankan pemerintahan saat ini, termasuk yang belum bisa dicapai pemerintah.
“Padahal, kalau dielaborasi, saya yakin akan terjadi diskursus dan ini sangat baik untuk perbaikan sistem perpajakan Indonesia,” pungkasnya.
Sumber: CNNINDONESIA.COM, 26 September 2018