CITA | 11 Oktober 2016
Pemerintah berencana merevisi PP Nomor 52/2000 dan PP Nomor 23/2000. Kedua PP ini mengatur tentang Network Sharing dan Tarif Interkoneksi. Sebelum revisi PP ditandatangani Presiden, Menkominfo telah menerbitkan SE Nomor 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 terkait Tarif Interkoneksi antar–operator, yang menetapkan penurunan tarif interkoneksi semula Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit. Penetapan tarif interkoneksi sebesar Rp 204 per menit dinilai tidak mempertimbangkan kondisi kesenjangan level para pemain di lapangan (unequal playing field), karena masing-masing provider memiliki ongkos pemulihan dan coverage yang berbeda-beda.
Kebijakan yang kurang transparan dan berdalih demi persaingan yang sehat dalam rangka menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini pada akhirnya justru berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat dan pada gilirannya merugikan negara dari sisi pendapatan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, kami menyampaikan hal-hal berikut.
- Penetapan tarif interkoneksi secara simetris berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, yaitu dengan cara memberikan ruang bagi beberapa provider tertentu -yang memiliki biaya operator lebih rendah dari tarif koneksi- untuk menekan harga serendah-rendahnya sehingga terjadi perang harga (price war) di pasar. Kominfo sebaiknya menetapkan harga interkoneksi secara asimetris berbasis ongkos pemulihan dan coverage masing-masing operator secara berimbang (fair calculation). Di sisi lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus mengkaji terlebih dahulu potensi terjadinya persaingan usaha tidak sehat yang dapat ditimbulkan atas RPP tersebut.
- RPP yang disusun secara tidak transparan dan ditujukan tidak untuk pemerkuatan kepentingan nasional dan pemenuhan kebutuhan nasional juga berpotensi membuat negara buntung dari sisi penerimaan negara. Kompetisi yang tidak sehat dan tidak fair akan memacu perang harga sehingga menurunkan penjualan dan laba bersih yang berdampak pada turunnya kontribusi PPN, PPh, dan PNBP. Estimasi terjadinya potential loss atas revenue industri sebesar Rp 14 triliun. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan kontribusi PNBP yang diperkirakan sebesar Rp 245 Miliar (1,75% x Rp 14T). Lebih lanjut, akan terjadi penurunan penerimaan PPNÂ sebesar Rp1,4 Triliun (10% x Rp 14T) dan PPh Badan sebesar Rp 559 miliar (25% x Rp 14T). Hal ini juga akan berdampak pada turunnya daya saing perusahaan yang dipaksa berbagi, menurunkan dividen sebagai bagian keuntungan pemerintah. Dampak lain mungkin terjadi adalah multiplier effect karena turunnya capex dan opex yang berakibat pada berkurangnya kue ekonomi bagi industri pendukung telekomunikasi. Terakhir, frekuensi sharing juga akan menyebabkan monetisasi frekuensi di secondary market dan mengakibatkan efek ganda turunnya PNBP.
- Penerapan Kebijakan Network Sharing harus dilakukan dengan cermat melalui beberapa pertimbangan, yaitu perbedaan kontribusi investasi antar provider atau perbedaan komitmen pembangunan BTS antara provider dan fokus utama penerapan network sharing yang ditujukan terhadap wilayah yang belum ada layanan/unserved area. RPP hanya menerapkan skema berbagi jaringan aktif yang diberlakukan pada pembangunan jaringan telekomunikasi baru di wilayah pedesaan, daerah jarang penduduk, dan/atau non komersial guna mengakselerasi target 100% cakupan broadband Indonesia. RPP ditujukan untuk menggerakan sektor strategis industri telekomunikasi dalam negeri untuk mewujudkan kemandirian ekonomi nasional yang sejalan dengan Agenda Prioritas Nawa Cita ke-7 Presiden Jokowi, sehingga harus bertolak dari kebutuhan dan kepentingan nasional.
- RPP memberlakukan pembatasan waktu penerapan skema berbagi jaringan aktif dan kewajiban lainnya bagi operator penyewa jaringan. Lebih lanjut, RPP memberlakukan kebijakan kompensasi bagi operator yang sudah membangun infrastruktur dengan menggunakan dasar perhitungan yang jelas.
- Kebijakan yang diambil Kominfo tidak sejalan dengan upaya luar biasa Presiden Jokowi menarik investasi asing dan bahkan menerapkan program tax amnesty untuk merepatriasi dana di luar negeri demi menggerakkan perekonomian nasional. Dengan struktur kepemilikan operator yang dimiliki asing, rawan terjadi praktik transfer pricing/penggeseran laba ke luar negeri dan Indonesia tidak menikmati keuntungan. Kami juga mengingatkan Menkominfo untuk berhati-hati agar tidak mengulangi pejabat di masa lalu yang tersangkut kasus korupsi karena memperkaya orang lain. Di sisi lain, KPK sebaiknya melakukan investigasi terhadap potensi upaya memperkaya pihak lain dengan sengaja yang dapat ditimbulkan oleh revisi peraturan pemerintah ini.
Jakarta, 11 Oktober 2016
Yustinus PrastowoÂ
Direktur Eksekutif