TAJUK

Pajak Bumi dan Bangunan dan Populisme Kampungan

d197c421d422f5cbf569ea13f09ef700_L

PRISMARESOURCE.COM | 10 Februari 2015

RUANG publik baru saja dikejutkan pernyataan Menteri Agraria Ferry Mursidan Baldan (FMB) yang ingin menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ide itu sontak menuai pro dan kontra. Layaknya tiap gagasan populis yang menjual keberpihakan pada rakyat, sambutan hangat segera diraih. Sebaliknya, tak sedikit yang mempersoalkan ide sang menteri mulai dari upaya mencari popularitas, tak paham duduk perkara,  dan membuat banyak kepala daerah meradang karena pundi-pundi pendapatan daerah akan tergerus. Sayang diskursus soal PBB ini kehilangan bobot dan relevansi karena berhenti sebagai sensasi tanpa landasan konseptual dan pemahaman faktual yang kokoh.

FMB beralasan pengenaan PBB selama ini tidak jelas dan memberatkan. Ketidakjelasan agaknya disebabkan dasar pengenaannya – Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) – yang dianggap tidak mencerminkan nilai sebenarnya. NJOP memicu aksi spekulasi yang membumbungkan harga dan akhirnya memberatkan beban wajib pajak. Agar penilaian ini berdasar, Menteri pun menyelipkan pembenaran yang berbau teologis bahwa Tuhan hanya sekali menciptakan bumi tetapi kenapa tiap tahun dipajaki? Bukankah pungutan tiap tahun ini warisan kolonial yang tak sepantasnya diteruskan sebuah negara demokratis? Pandangan FMB layak ditilik lebih lanjut agar diperoleh kejernihan pemahaman.

Pajak adalah beban bagi rakyat. Adagium kuno mengatakan bahwa tak ada seorang pun rela membayar pajak, maka pemerintah diberi kewenangan memaksa. Meski ada beragam teori yang menjelaskan mengapa pajak ada, semua sepakat bahwa pajak itu penting. Pajak adalah satu sisi dari koin eksistensi sebuah negara. Yang membedakan pungutan pajak di zaman kerajaan, penjajahan, dan kemerdekaan adalah relasi antara negara dan warganegara.

Sejarah perpajakan adalah kisah peradaban yang pasang surut oleh pemberontakan hingga lahir seloka taxation without representation is robbery. Partisipasi warga tercermin dalam penetapan beban pajak oleh pemerintah dan DPR melalui Undang-undang. Adam Smith (1723-1790) merumuskan empat prinsip pemajakan yang kini umum diterima : keadilan (ability to pay), kepastian hukum (certainty), kenyamanan (convenience of payment), dan efisiensi. Empat prinsip Adam Smith ini patut dijadikan lensa analisis terhadap PBB.

PBB adalah salah satu jenis pajak tertua, seusia pajak itu sendiri. Sejak zaman Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani, Romawi, era kekhalifahan Islam, hingga zaman modern, pajak atas tanah dan hasilnya selalu ada. Kepemilikan dan pemanfaatan tanah merupakan dasar pengenaan pajak yang adil karena tanah adalah representasi modal dan potensi kekayaan. Indonesia sendiri mengenal pajak atas tanah sejak sistem upeti di zaman kerajaan, landrent dan landrentedi era kolonial, hingga pajak atas hasil bumi (UU No. 14 Tahun 1951). Pada 1 November 1965, Pajak atas Hasil Bumi diubah menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Akhirnya melalui UU No. 12 Tahun 1985, pemerintah memberlakukan PBB dan menghapus Pajak Rumah Tangga 1908, Verponding Indonesia 1923, Verponding 1928, Pajak Kekayaan 1932, Pajak Jalan 1942, dan Pajak Hasil Bumi/IPEDA. Hampir seluruh penerimaan PBB adalah dibagihasilkan ke daerah hingga melalui UU No. 28 Tahun 2009 PBB sektor perkotaan dan perdesaan diserahkan sepenuhnya ke Pemda agar dekat dengan pelayanan publik.

Meski masih memiliki beberapa kelemahan, PBB merupakan pajak dengan sistem administrasi terbaik dan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah terpenting. Tiap jengkal tanah memiliki Nomor Objek Pajak (NOP). Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak (SISMIOP) adalah administrasi modern yang dilengkapi dengan pendataan satelit yang canggih dan akurat. Untuk memperoleh NJOP yang tepat, penilaian berkala dilakukan dengan kombinasi Zona Nilai Tanah (ZNT) dan kelas tanah. Dengan tarif tertinggi hanya 0.3%, sebenarnya PBB tidaklah memberatkan apalagi UU memberikan pengurangan bagi wajib pajak tak mampu dan pengecualian untuk objek pajak tertentu. Lugasnya, dengan berbagai batu uji prinsip pemajakan, PBB sama sekali tak layak dihapus.

Jika demikian halnya, kenapa FMB menggebu ingin menghapus PBB? Kita hanya bisa menerka. Alih-alih memberi tawaran solusi, dia lebih sibuk berbagi teka-teki. Presiden Jokowi agaknya perlu ekstra waspada terhadap berbagai agenda tersembunyi dari para pembantunya. Secara teknis mengubah PBB tak mudah karena harus mengamandemen UU No. 12 Tahun 1985 dan UU No. 28 Tahun 2009.

Kita berharap Pak Menteri sedang bercanda karena tugas pokoknya adalah menuntaskan reformasi agraria. Semoga Presiden Jokowi segera awas dengan kinerja para pembantunya. Kini saatnya menguji tiap gagasan melalui mulai deliberasi di ruang publik demokratik tanpa perlu terburu-buru mengundang keterlibatan Tuhan. Ketika pajak sudah lumrah diterima sebagai beban, hendaknya rakyat tak diimbuhi lagi dengan beban tambahan:  meratapi kinerja para menteri yang tak memuaskan. Kecuali para pejabat puas digaji sekali saja dan sisanya mengabdi sepenuh hati.

Komentar Anda