CITAX H2

Panik, Menkeu Minta Ditjen Pajak `Sandera` 5.000 Peserta Tax Amnesty

Jakarta, HanTer – Program tax amnesty yang dicanangkan Pemerintah, ternyata gagal, tidak mencapai target. Antara lain, aset repatriasi yang diperoleh nyatanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap likuiditas, nilai tukar, suku bunga, dan investasi. Selain itu program ini sepi peminat, karena hanya 995.983 wajib pajak yang ikut.

Program ini juga hanya bisa menggaet penerimaan sebesar Rp107 triliun, dari target Rp 165 triliun. Anehnya, Menkeu Sri Mulyani (SMI) meminta Ditjen Pajak  menggelar pemeriksaan pada 5000 peserta program tax amnesty. Hal ini dinilai ‘menyandera’ wajib pajak.

Rencana mengejar wajib pajak (WP) itu karuan saja ditentang kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam Kadin dan juga oleh pengamat perpajakan. Ketua Umum Kadin Rosal Roeslani berpendapat rencana tersebut tidak adil karena menurutnya pemerintah sejak awal berkomitmen tak akan menelisik pengusaha yang mengikuti amnesti pajak.

Rosan Roeslani berharap Direktorat Jenderal Pajak tak mengintai kembali para peserta tax amnesty atau amnesti pajak untuk diperiksa. Menurut Rosan, tindakan itu tak adil lantaran sejak awal pemerintah berkomitmen tak akan menelisik pengusaha yang mengikuti amnesti pajak. “Kembali ke filosofi awalnya saja, yakni sebagai pengampunan,” katanya di Jakarta.

“Kelewatan, masa WP dikejar-kejar, sehingga terkesan disandera. WP itu dibujuk diberi penghargaan bukan malah disandera. Saya yakin ini kerjaa Sri Mulyani yang panik karena target pendapatan dari pajak tak tercapai,” kata pengamat kebijakan publik Zulfikar Ahmad kepada Harian Terbit. Selasa (25/7/2017).

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Gede Sandra mengemukakan, kepanikan-kepanikan Sri Mulyani, dari kasus PPN 10% untuk petani tebu hingga pemeriksaan kembali 5000 peserta amnesti pajak menandakan berbahayanya situasi APBN kita. Terutama di beberapa indikator.

“Mulyani panik karena sadar tidak mampu menghadapi perlambatan ekonomi yang menanti Indonesia di depan,” kata Gede.

Sementara, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo berpendapat bahwa perlu ada kelonggaran bagi mereka yang sudah ikut program amnesti pajak agar kepercayaan mereka tidak rusak.

“Inilah pekerjaan rumah (PR) pemerintah. Harus bisa memikirkan keberlanjutan bagaimana memenuhi target penerimaan pajak ke depan tanpa adanya program tax amnesty,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, di Jakarta, Senin (24/7/2017).

Maftuch juga menggarisbawahi bahwa tax amnesty itu tak berpengaruh signifikan terhadap upaya peningkatan basis data WP. Faktanya, tingkat partisipasi hanya sebesar 965.983 WP, dengan 50.385 di antaranya WP baru.

Bila dikomparasi dengan WP yang mendapat Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebanyak 20,1 juta dari total WP 32,7 juta, angka ini tentu tak menggemberikan, terlebih program ini memberikan diskon pajak besar-besaran yang ditawarkan pemerintah pada WP. Apalagi, dari sisi komitmen repatriasi cuma Rp147 triliun dari total harta yang dideklarasikan mencapai Rp4.866 triliun.

“Ini menunjukkan bahwa pencapaian program TA ini masih jauh di bawah target. Dari target repatriasi Rp1.000 triliun hanya tercapai 14 persen. Padahal, salah satu alasan adanya tax amnesty adalah membawa kembali aset WNI yang disimpan di luar negeri,” cetusnya.

Mencurigai

Disisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencurigai setidaknya sebanyak 5000 peserta program TA melanggar ketentuan kesepakatan TA hingga para WP tersebut terancam akan dilakukan pemeriksaan.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP, Angin Prayitno AJI, sempat menyampaikan bahwa diantara pelanggaran yang diduga dilakukan oleg WP yakni memanipulasi atau tidak jujur dalam mengungkapkan harta yang dimiliki.

“Ada 5.000 Wajib Pajak yang tidak mengubah perilaku. Tax amnesty sudah lewat, tapi dia melakukan hal tadi, tidak pernah bayar, bayar tapi salah. Ini ada analisanya,” ujar Angin beberapa waktu lalu.

Tak Boleh Memaksa

Pengamat ekonomi dari Economic Action Indonesia, Ronny P Sasmita, menjelaskan salah satu indikator sulitnya target penerimaan pajak itu bisa dicapai adalah pemerintah baru saja selesai menjalankan program TA. Artinya, DJP tak bisa lagi memeriksa dan memaksa wajib pajak yang selama ini nakal untuk membayar pajak.

“Nah, tugas atau solusi yang paling mungkin untuk DJP adalah fokus pada objek pajak yang selama ini tidak terkena atau yang tidak ikut program tax amnesty,” kata Ronny‎ di Jakarta, Senin (24/7/2017).

Terpisah, anggota Komisi XI Fraksi Gerindra, Kardaya Warnika, mengatakan, pemerintah seharusnya bisa memberikan kenyamanan bagi wajib pajak. Terutama, kata dia, yang telah mengikuti TA. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan jaminan bahwa data nasabah tak akan disalahgunakan oleh fiskus atau petugas pajak.

“Yang dikhawatirkan adalah yang sudah masuk ini, apakah mereka akan nyaman. Karena waktu bicara TA kenyamanan adalah unsur yang paling penting,” jelas Kardaya.

Sumber: Harian Terbit, 25 Juli 2017

Komentar Anda