AKURAT.CO, Center fo Indonesia Taxation Analysis (CITA) mendukung ide penurunan tarif PPh UKM oleh Kementerian Keuangan, dari 1% menjadi 0,5% melalui revisi PP 46/2013.
“Penurunan ini seyogyanya diperuntukkan bagi seluruh wajib pajak UKM, termasuk pelaku bisnis konvensional agar tercipta kesetaraan (equal playing field),” ujar Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo, saat dihubungi di Jakarta, Senin (22/1).
Penurunan tarif ini menurutnya juga menjadi bentuk moderasi di saat perekonomian mengalami perlambatan, dengan harapan menggairahkan perekonomian dan meningkatkan kepatuhan pajak.
“Di samping itu, tarif 1% selama ini dirasakan terlalu tinggi bagi pelaku UKM tertentu,” imbuhnya.
Revisi pajak ini menurut CITA seyogianya juga bermakna harmonisasi kebijakan, terutama dengan pengaturan UKM di kementerian/lembaga teknis lainnya, sehingga Indonesia memiliki hanya satu kebijakan tunggal yang komprehensif terhadap UKM.
Revisi PP 46/2013 juga sebaiknya mencakup layering tarif pajak, terutama untuk melindungi pelaku usaha mikro. Jangka waktu penggunaan skema pajak UKM dibatasi maksimal 3 tahun, pembatasan wajib pajak yang boleh menggunakan skema ini (misalnya hanya untuk WP orang pribadi dan untuk WP badan menggunakan skema normal dengan pembukuan sederhana). Penyediaan aplikasi/sistem untuk pembukuan/pencatatan/penghitungan/pelaporan yang praktis dan sederhana.
Layering tarif final juga dapat diberikan, sebagai contoh pembebasan pajak untuk WP mikro (omset di bawah 300 juta setahun), tarif 0,25% untuk WP dengan omset di atas 300 juta sampai dengan Rp 600 juta, tarif 0,5% untuk WP dengan omset di atas Rp 600 juta sampai dengan 1,8 miliar, dan WP dengan omset di atas Rp 1,8 miliar sampai dengan Rp 4,8 miliar membayar pajak 1% (PPh final 0,5% dan PPN 0,5%).
“Hal ini sekaligus sebagai edukasi dan persiapan WP menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP),” ucap Yustinus.
Ide penurunan threshold (ambang batas) dari yang selama ini berlaku yaitu Rp 4,8 miliar, lanjut Yustinus, juga harus dicermati dengan hati-hati, terutama menyangkut waktu (timing) dan besaran.
Kajian yang mendalam dan komprehensif sebaiknya dilakukan terlebih dahulu agar potret permasalahan dan tantangan industri dan usaha kecil menengah diperoleh.
“Negara-negara lain menetapkan threshold yang berbeda menurut tujuan spesifik tiap-tiap negara,” ungkap Yustinus.
Penurunan threshold dalam jangka pendek akan menciptakan komplikasi administrasi, baik dari sisi wajib pajak maupun kantor pajak, kata dia. Sebaiknya hal ini ditunda terlebih dahulu sambil Pemerintah mendapatkan gambaran objektif, diawali dengan sosialisasi, transisi, penyediaan infrastruktur, dan implementasi di awal tahun.
“Perubahan kebijakan yang serta merta dan terlalu cepat dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan, termasuk perilaku wajib pajak yang memecah usaha agar tetap di bawah threshold sehingga tujuan Pemerintah meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas basis pajak tidak tercapai,” pungkasnya. []
Sumber: AKURAT.CO, 22 Maret 2018