Opini

Restrukturisasi APBN: Upaya Menghentikan Malapetaka Ekonomi Masa Depan

Restrukturisasi APBN: Upaya Menghentikan Malapetaka Ekonomi Masa Depan

Oleh Muhammad Fajar Nugraha

Struktur APBN disusun terlalu ambisius ketika Indonesia tengah menghadapi berbagai risiko dan ancaman perekonomian global dan domestik yang akan merugikan di perekonomian mendatang. Lemahnya harga komoditas dan migas, lalu melambatnya perekonomian negara maju dan negara mitra dagang strategis Indonesia, risiko kenaikan tingkat suku bunga The Fed, serta risiko stabilitas politik negara maju masih membayangi denyut perekonomian domestik di masa depan. Kondisi perekonomian global tersebut dapat berdampak pada melemahnya kinerja perekonomian domestik yang ditransimisikan melalui penurunan kinerja ekspor, pelemahan tingkat konsumsi, depresiasi nilai tukar, inflasi, dan keluarnya arus modal. Lebih lanjut, hal ini akan turut berdampak pada melemahnya kinerja penerimaan negara (APBN) melalui turunnya penerimaan perpajakan, PNBP, serta bea masuk/keluar.

Kondisi ekonomi yang jauh dari kata ideal menjadi pertimbangan utama untuk menyusun  kebijakan APBN secara hati-hati. Rendahnya harga komoditas dan minyak mentah, harusnya menjadi alasan bagi Pemerintah untuk tidak menggantungkan diri kepada penerimaan berbasis komoditas dan migas dalam APBN. Dengan kondisi demikian, Pemerintah hanya dapat mengandalkan pos pembiayaan untuk membiayai belanja negara saat kinerja barang komoditas dan migas tidak sesuai harapan. Porsi pembiayaan yang semakin besar berpotensi menjadi beban bagi generasi mendatang. Sungguh disayangkan apabila kebutuhan belanja negara di masa mendatang hanya dihabiskan untuk membayar pokok dan bunga utang saja.

Struktur APBN yang berorientasi pada barang komoditas dan pembiayaan diibaratkan sebuah bom waktu yang kelak dapat meluluhlantakkan perekonomian dan struktur ketenagakerjaan suatu negara. Sudah banyak negara yang terkena kutukan tersebut, Venezuela merupakan salah satu contoh nyata. Struktur APBN Venezuela yang dikenal sebagai negara penghasil minyak sangat bertumpu pada kinerja sektor migas (tercatat hampir setengah dari struktur penerimaan APBN-nya bergantung pada sektor tersebut)[1]. Bom waktu perekonomian Venezuela akhirnya meledak ketika turunnya harga minyak yang meluluhlantakkan struktur penerimaan Venezuela. Bayangkan saja, hanya untuk membeli sabun, popok, kopi instan, dan barang konsumsi sehari-hari lainnya (yang dengan mudah kita dapatkan di warung pinggir jalan) harus dijatah oleh otoritas setempat dengan harga yang melambung tinggi. Kekacauan perekonomian Venezuela juga memakan korban pada kelompok pekerja kelas menengah. Pendapatan riil kelompok pekerja kelas menengah atas (yang berpendidikan tinggi dengan kompetensi tinggi) telah tergerus sedemikian besar hingga mengakibatkan kelompok tersebut beralih menjadi buruh tambang ilegal[2].

Sebagai bangsa yang cukup sadar tentunya kita tidak ingin mengalami kekacauan ekonomi atas ketidakmampuan menyelenggarakan kebijakan APBN yang baik. Hal ini dikarenakan, APBN sebagai salah satu instrumen fiskal memiliki peran krusial dalan menjaga stabilitas perekonomian. Moment terpilihnya Sri Mulyani (SMI) sebagai Menteri Keuangan akan memberikan arah baru dalam kebijakan APBN era Kabinet Kerja. Beberapa hari sejak menjabat, SMI memiliki visi untuk meletakkan perekonomian Indonesia dengan lebih hati-hati demi mengupayakan iklim ekonomi yang sustain dan stabil. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan restrukturisasi APBNIa memulai langkah untuk kembali memotong APBN 2016 atas belanja non-prioritas sebesar Rp 133,8 Triliun setelah sebelumnya memotong Rp 50,6 Triliun pada APBNP 2016[3] untuk mengendalikan defisit APBN  dan membatasi terjadinya pembiayaan yang melebar.

Lebih lanjut, restrukturisasi guna menciptakan stabilitas perekonomian Indonesia yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu menetapkan target penerimaan dan belanja yang realistis serta perluasan basis pajak dalam RAPBN 2017. Sebagai upaya lanjutan, pemerintah menetapkan target APBN 2017 yang lebih realistis (yaitu turun 2,8% dari target APBNP 2016), lalu meminimalisir kebutuhan pembiayaan, serta memperluas basis pajak melalui kebijakan Pengampunan Pajak,yang diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara. Di sisi lain, pengalokasian belanja negara untuk hal prioritas, seperti pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan sosiali juga dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi. Kita tidak akan pernah mengetahui secara pasti gejolak perekonomian global dan domestik di masa yang akan datang. Namun demikian, melihat upaya Menkeu dalam merestrukturisasi APBN setidaknya memberikan cukup ruang untuk berharap akan perekonomian Indonesia yang lebih baik di masa depan.



[1] http://time.com/4342329/venezuela-economic-collapse-nicolas-maduro/
[2]http://www.nytimes.com/2016/08/15/world/venezuela-malaria-mines.html?_r=0 [3]https://m.tempo.co/read/news/2016/08/05/090793621/sejumlah-pos-anggaran-dipotong-ini-alasan-sri-mulyani

 

Komentar Anda