HARIANTERBIT.COM | 05 September 2016
Jakarta, HanTer – Program pengampunan pajak atau tax amnesty telah berlangsung selama enam pekan sejak pertama kali digulirkan pada 19 Juli lalu. Dari program tersebut, pemerintah menargetkan penerimaan sebesar Rp 165 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016.
Hingga Minggu (4/9/2016), data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat total deklarasi harta serta repatriasi telah mencapai Rp203,5 triliun dan baru didapatkan uang tebusan senilai Rp4,32 triliun atau 2,6%Â dari target penerimaan negara.
Melihat progres tersebut, sejumlah kalangan meragukan target program tax amnesty akan tercapai pada penutupan program tersebut Maret 2017. “‎Menurut keyakinan kami hanya Rp 50 triliun hingga Rp 80 triliun untuk uang tebusan,” kata Ketuga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Sabtu (4/9/2016).
Meski dirinya memprediksi bulan September ini terjadi peningkatan animo pengusaha untuk mengikuti tax amnesty, namun ia meyakini target dana tebusan bagi negara itu sulit tercapai. “Satu minggu lagi saya perkirakan akan naik signifikan. Tapi target (tax amnesty) tetap terlalu tinggi,†tandas dia.
Hariyadi mengatakan, Apindo juga tidak tinggal diam untuk membujuk pengusaha kakap mengikuti program pengampunan pajak ini. Namun, kata dia, melacak wajib pajak (WP) kata ketiadaan data akibat terjadinya perubahan secara periodik.
“Data-data itu sebetulnya sulit (untuk dilacak). Data Panama Papers yang dipakai saja datanya sangat dinamis,†ujarnya.
Hal senada dikatakan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo. Menurutnya, target hasil tebusan pengampunan pajak yang dipatok pemerintah terlampau tinggi. “Bisa dapat Rp 80 triliun saja sudah bagus,” ujarnya.
Ada Keliru
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, sebelumnya mengakui ada kekeliruan dalam penghitungan target yang ditentukan pemerintah dari tax amnesty ini.
“Yang keliru bukan tax amnesty, yang keliru penempatan target yang terlalu tinggi. Kalau saya ingin katakan keliru ya,” kata dia.
JK menilai, ada beberapa faktor yang membuat perhitungan target tax amensty menjadi sangat tinggi. Terutama data-data yang digunakan sebagai dasar penghitungan dianggap tidak jelas.
“Karena pemerintah sendiri yah awalnya yang berbeda lah. Saya tidak katakan keliru, yang berbeda kita hadapi hari ini ialah karena ketinggian targetnya,” imbuh JK.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Saksama mengakui pelayanan tax amnesty berjalan lamban. Namun, hal ini disebutnya tak berhubungan langsung dengan penerimaan dari program tersebut yang belum meningkat signifikan.
Hestu menjelaskan, lambannya pelayanan secara khusus terjadi pada WP skala kakap dengan aset yang melimpah. Dengan demikian, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memproses pendataan.
“Kalau cuma tiga item asetnya itu hanya 10 menit. Tapi kalau sampai 2.000 item, mobil, rumah, investasi, dan lain-lain itu yang butuh waktu bagi mereka mempersiapkannya,” ujarnya.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Undang-undang (UU) Tax Amnesty bagi pegawai pajak yang berjumlah 40 ribu orang masih terbilang baru, sehingga mereka belum memahami seluruhnya. Tantangan berat lainnya mempelajari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) turunan UU Tax Amnesty yang keluar dalam waktu berdekatan.
“Ditambah pegawai pajak harus menjelaskan (sosialisasi) ke orang lain, jadi ini satu waktu yang luar biasa dan sangat kritis. Karena tax amnesty bukan hanya untuk 100 orang terkaya di Indonesia, tapi ini UU untuk seluruh rakyat,” tegasnya.
Sri Mulyani berjanji akan melakukan percepatan reformasi di bidang perpajakan seiring pelaksanaan tax amnesty.
“Idealnya reformasi bidang perpajakan didahulukan, baru tax amnesty. Tapi ini sudah terjadi, sehingga yang bisa saya lakukan adalah akselerasi reformasi ini,” ucap Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.