Oleh Y. D. Anugrahbayu
Al-Rashid, Mesir, 1799. Pierre-François Bouchard, seorang insinyur militer Napoleon, sedang sibuk menggali tanah, menyiapkan fondasi sebuah benteng. Ditemukannya sebongkah batu cukup besar, hitam penuh wibawa. “Ada yang tak biasa,” katanya dalam hati. Diangkatnya batu itu, lalu bersama para serdadu dibawanya ke Kairo, untuk diserahkan kepada para sarjana Institut d’Egypte.
Tiga tahun berselang. Pasukan Napoleon tak kuasa menahan gempuran pasukan Ottoman dan Inggris. Perjanjian Alexandria 1801, pasal 16: seluruh barang koleksi Prancis wajib diserahkan ke pihak Inggris. Sebongkah batu tadi termasuk. Februari 1802, batu itu tiba di Portsmouth, lalu diangkut ke British Museum, London.
Lebih dari dua ratus tahun berlalu, batu itu masih di sana. Kini kita mengenalnya dengan nama “Prasasti Rosetta” (The Rosetta Stone).
Prasasti itu ditulis pada masa pemerintahan Ptolemaios V, seorang raja Mesir yang naik takhta pada 205 SM, ketika usianya baru 5 tahun. Artinya, ketika Prasasti Rosetta ditulis sekitar 196 SM, usia sang raja kira-kira baru 10 tahun. Raja cilik itu bagian dari Wangsa Ptolemaios, dinasti penguasa Mesir sejak 305-30 SM.
Tetapi Wangsa Ptolemaios bukan orang Mesir. Mereka orang Yunani-Makedonia yang mendapat bagian wilayah Mesir sejak Alexander Agung merebutnya dari kuasa Persia pada 332 SM. Ptolemaios I, sang perintis wangsa, adalah seorang jenderal Alexander Agung.
Silang budaya itulah keistimewaan Prasasti Rosetta: ia ditulis dalam tiga bahasa. Paling atas: hieroglif Mesir (kala itu dianggap tulisan suci), tengah: demotik Mesir (tulisan rakyat yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari); paling bawah: Yunani kuno (bahasa pemerintah). Dengan tiga bahasa itu Prasasti Rosetta menjadi pintu masuk ke dunia Mesir kuno. Lewat perbandingan dengan Yunani kuno—bahasa yang sudah lebih dulu akrab di kalangan para sarjana Eropa—misteri hieroglif Mesir pelan-pelan terkuak.
Deretan aksara Prasasti Rosetta menebar aura peradaban tinggi. Di sana tercatat puja-puji bagi kebaikan hati sang raja cilik: membebaskan para tahanan, mengampuni para pemberontak, menghapus tunggakan pajak. Yang paling istimewa: imunitas pajak bagi kuil-kuil—sesuatu yang sangat menguntungkan golongan para imam.
Sejak ditaklukkan oleh bangsa Asyur, Persia, lalu Yunani, kuil-kuil Mesir kehilangan apa yang dalam dunia Hellenistik disebut asylia: kebalnya suatu wilayah terhadap otoritas sipil (termasuk pajak). Dengan Prasasti Rosetta, asylia bagi kuil-kuil itu kembali—sebuah penghargaan tinggi dari seorang penguasa asing kepada penghayatan keagamaan lokal. Konon, salinan Prasasti Rosetta dipajang di depan kuil-kuil Mesir, seakan suatu wanti-wanti bagi para pemungut pajak: yang tidak berkepentingan—wahai engkau para pemungut pajak—dilarang masuk! (Adams 2001, 20)
Kembalinya asylia itu membawa serta makna ekonomi. Di Mesir kuno, imam tak pernah sekadar pemimpin agama, dan kuil tak pernah sekadar tempat ibadah. Imam Mesir adalah sekaligus kaum terpelajar—atau lebih tepat, intelligentsia dalam pengertian Marxis. Mereka bukan sekadar terpelajar, melainkan juga punya pengaruh ekonomi-politik. Demikian pula kuil, selain berfungsi sebagai tempat pemujaan, juga sekaligus penyerap tenaga kerja. Luasnya tanah kuil kerap mencakup kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pabrik kain lenan atau pandai besi (Ray 2008, 137). Dengan kembalinya asylia, industri-industri di sekeliling kuil pun turut bebas pajak.
Dari situ segera terpancar citra seorang raja budiman seperti kita dapati dalam dongeng-dongeng: raja yang mencintai rakyatnya, yang sanggup mengampuni para pemberontak, yang merunduk saleh kepada otoritas agama dan para dewa—sejenis “benevolent dictatorship,” kata ahli sejarah pajak Charles Adams (2001, 19).
Tetapi itu bukan seluruh cerita.
Di balik aura luhurnya, Prasasti Rosetta adalah saksi masa-masa penuh kebencian, huru-hara, pertumpahan darah. Sejak Alexander Agung menaklukkan kuasa Persia di tanah Mesir, orang-orang Yunani-Makedonia terus berdatangan. Sebagian dari mereka menjadi pentolan-pentolan pemungut pajak. Orang-orang Mesir, menurut catatan editor majalah Archeology Jason Urbanus (2017, 52, 54), jadi warga negara kelas dua.
Kecemburuan sosial memicu terbentuknya gerakan nasionalis. Pada 206 SM, mulailah apa yang dalam sejarah Mesir kuno dikenal sebagai “Pemberontakan Besar” (The Great Revolt). Sebutan itu, selain menggambarkan dahsyatnya pemberontakan—juga tentu pemberangusannya—mewakili pula nafasnya yang panjang: 20 tahun (206-186 SM). Dalam kurun waktu itu, perang gerilya pecah di mana-mana.
Sisa-sisa kekejaman perang terungkap lewat sebuah proyek ekskavasi di kota Thmuis, 2017 lalu. Salah satu temuan: beberapa batang tulang belulang. “Orang ini mati dibunuh secara keji,” kata Jay Silverstein, arkeolog Universitas Hawaii sekaligus salah satu direktur proyek ekskavasi. “Mungkin ia sedang melawan musuh-musuhnya. Ia tidak dikubur. Jenazahnya ditinggalkan di antara reruntuhan” (dikutip dalam Urbanus 2017, 55). Menurut Silverstein, ada kemungkinan orang itu terlibat dalam Pemberontakan Besar.
Prasasti Rosetta sezaman dengan masa itu. Deretan aksaranya yang penuh wibawa ternyata didahului pembunuhan-pembunuhan keji. Kata Jason Urbanus (2017, 55): “Temuan-temuan di Thmuis membentuk pemahaman dan persepsi baru tentang Prasasti Rosetta. Ia bukan sekadar benda museum yang terkenal, melainkan juga barang yang terjalin dengan peristiwa manusia, yang dibuat lebih dari dua ribu tahun lalu di sebuah wilayah yang dihuni manusia-manusia nyata, pada sebuah masa yang penuh kekerasan tak terperi dan penuh pertaruhan.”
Dari Al-Rashid, Kairo, sampai London, prasasti itu masih menyimpan teka-teki. Sungguhkah ia saksi kemurahan hati seorang pemimpin? Atau justru kekejamannya? Apakah ia cermin lemahnya kepemimpinan di tengah krisis? Atau malah kecerdikannya merangkul golongan paling berpengaruh?
Referensi
Adams, Charles. 2001. For Good and Evil: The Impact of Taxes on the Course of Civilization. Lanham, Oxford: Madison Books.
Ray, John. 2008. The Rosetta Stone and the Rebirth of Ancient Egypt. London: Profile Books.
Urbanus, Jason. 2017. “In the Time of the Rosetta Stone”. Archeology, Vol. 70, No. 6 (November/Desember 2017): 50-55.
Youngberg, David. 2019. “The Rosetta Stone Shows the Powerful Leveraged Tax Codes in the Ancient World, Too”. Diakses dari https://fee.org/articles/the-rosetta-stone-shows-the-powerful-leveraged-tax-codes-in-the-ancient-world-too/ pada 5 April 2020 pukul 16:46 WIB.