Ekonomi di Bayang Maut Hitam
Oleh Y.D. Anugrahbayu
CITA – “Jumlah orang hidup hampir-hampir tak cukup untuk menguburkan yang mati,” kata sebuah catatan dari Eropa abad ke-6. Di Eropa Abad Pertengahan, wabah bisa menelan korban dengan jumlah amat besar—jauh lebih besar daripada wabah Covid-19 yang meresahkan kita akhir-akhir ini.
Di antara sekian wabah yang pernah melanda Eropa, Maut Hitam (The Black Death) tahun 1347-1352 boleh jadi yang paling ngeri: demam, kejang, pusing hebat, kulit menghitam dengan bisul-bisul—darinya datang nama “Maut Hitam”(Latin: mors nigra atau mors atra). Orang bisa mati hanya dalam hitungan hari. Semangat zaman Abad Pertengahan suka menambah: hukuman Tuhan.
Lama diyakini, wabah Maut Hitam disebabkan oleh bakteri yersinia pestis, bakteri yang dibawa oleh kutu tikus, penyebab penyakit pes. Tetapi penelitian-penelitian mutakhir mengungkap bahwa penyakit pada masa Maut Hitam itu tak tunggal. Ada yang mengatakan pes, ada yang mengatakan bukan pes, ada pula yang mengatakan pes dengan berbagai variasi. (Byrne 2004, 15-16)
Tak diketahui berapa pastinya jumlah kematian. Banyak upaya perkiraan menelorkan hasil amat bervariasi. Menurut David Routt (2008), Maut Hitam menyurutkan populasi Eropa ke jumlah yang sama dengan populasi sekitar tahun 1100. Jumlah penduduk Eropa stagnan lama setelahnya. Baru sekitar 1450, atau bahkan 1550—senja Abad Pertengahan sekaligus fajar Renaisans—populasi tumbuh lagi. Kendati jumlah kematian tak diketahui pasti, Maut Hitam kerap disebut membawa kematian terbesar sepanjang sejarah.
“Dampak paling kentara dari Maut Hitam,” kata Joseph Patrick Byrne dalam The Black Death (2004, 57), “adalah berkurangnya populasi secara drastis.” Berkurangnya populasi segera membawa serta dampak ekonomi.
Relasi tuan tanah-petani salah satunya. Di Italia Utara, sistem bagi hasil tani (sharecropping) jadi kian lazim. Di Inggris, feodalisme memasuki senjakala seiring langkanya penggarap lahan. Alhasil, daya tawar para petani pun melesat. Sekadar gambaran: di Cuxham (Oxfordshire), upah seorang tukang bajak naik dari 2s (shillings) per minggu (sebelum wabah) menjadi 3s pada 1349, lalu 10s pada 1350 (Routt 2008).
Tetapi naiknya upah tak selalu berarti meningkatnya daya beli. Surutnya populasi secara drastis segera berakibat pada meningkatnya suplai uang per kapita. Inflasi. Daya beli jalan di tempat, kalau bukan malah turun (Routt 2008). Tetapi ditimbang secara keseluruhan, Maut Hitam mengangkat taraf hidup para petani Eropa. Langkanya pekerja memicu para tuan tanah berlomba-lomba menggelontorkan insentif kepada siapa saja yang bersedia menggarap lahannya—kadang-kadang dalam wujud ekstrem, misalnya tawaran menikah dengan seorang putri tuan tanah (Byrne 2004, 57-64).
Yang nelangsa tentulah para tuan tanah. Sebagian dari mereka, terutama di Spanyol dan Inggris, beralih dari dunia pertanian ke peternakan domba, kendati dengan keuntungan lebih rendah. Di Italia, banyak tuan tanah jatuh melarat—sebagian jadi bandit, sebagian berpaling jadi prajurit upahan.
Di Prancis, Maut Hitam menghantam pendapatan pajak kerajaan. Tetapi ada yang khas: mayoritas korban adalah anak-anak dan kelas masyarakat bawah—dengan kata lain, mereka yang paling tak mampu bayar pajak. Kaum yang mampu bayar pajak adalah yang paling tak terdampak. Maka yang paling krusial dari perpajakan Prancis bukanlah pajak itu sendiri, melainkan waktu terjadinya wabah: Maut Hitam menghantam tepat setelah Prancis kalah perang dan didera masalah finansial berkepanjangan (Henneman 1968).
Yang juga pantas dicatat: meningkatnya sentimen anti-pribumi (non-native) pada masa wabah. Di tengah kalut bencana, naluri purba lekas-lekas mencari kambing hitam—dalam kasus Eropa Abad Pertengahan: orang Yahudi (Byrne 2004, 81-85).
Secara sewenang-wenang, orang Yahudi kerap difitnah sebagai penyebab wabah. Paling tipikal: fitnah bahwa mereka sengaja menebar penyakit dengan meracuni sumber-sumber air. Gejala kultural seperti ini bisa berdampak secara ekonomi, misalnya dengan mengubah pola perdagangan (Bell, Prescott, Lacey 2020).
Pemerintah kerajaan ambil tindakan. Di Inggris, Juni 1349, Raja Edward III menerbitkan “Ordinance of Laborers”. Di dalamnya ditetapkan antara lain upah maksimum sebesar upah pra-wabah. Mereka yang menolak bekerja dengan besaran itu diancam dengan hukuman penjara. Dinilai tak efektif, dua tahun kemudian terbit “Statute of Laborers” (1351). Beberapa syarat diperketat, kendati penerapannya setali tiga uang dengan “Ordinance of Laborers”.
Menurut Byrne (2004, 65-66), terlepas dari tingkat keberhasilannya, dokumen-dokumen itu menampilkan dua kebaruan. Pertama, untuk pertama kalinya, kehendak raja menerobos kantong masyarakat dalam skala begitu luas, dari pekerja paling miskin sampai pedagang kaya, dalam perkara selain pajak. Lebih dari sekadar menerobos kantong, kedua dokumen itu juga mengintervensi kebebasan membuat perjanjian (freedom of contract). Wabah mendorong pemerintah kerajaan melakukan micromanaging atas ekonomi.
Kedua, hal ini sekaligus pertanda menguatnya kekuasaan raja. Kontrol atas masyarakat bekerja bukan lagi lewat sistem feodal, bukan pula lewat para bangsawan, melainkan secara lebih langsung lewat kelas para ksatria lebih rendah seperti petugas keamanan atau juru sita. Lambat laun, berkat kedekatannya dengan raja, kelas ini beroleh status kian terpandang.
Setelah Maut Hitam mereda, beberapa wabah masih datang menyusul. Tak sebesar Maut Hitam, memang, tapi cukup membuat populasi stagnan. Sementara populasi Inggris belum pulih, tampillah Raja Richard II dengan titah pajak perseorangan (poll tax): 1s per kepala sebanyak tiga kali, masing-masing pada 1377, 1379, dan 1380. Bagi Sang Raja, perang melawan Prancis lebih penting dari apapun. Setahun kemudian, meletuslah Pemberontakan Petani 1381—pemberontakan terbesar sepanjang sejarah Inggris.
Enam ratus tahun lebih Maut Hitam berlalu. Tetapi bayang-bayangnya masih: harta di atas nyawa.
Referensi
Bell, Adrian R., Andrew Prescott, Helen Lacey. 2020. “What can the Black Death tell us about the global economic consequences of a pandemic?” Diakses Selasa, 31 Maret 2020 pukul 15:26 WIB.
Byrne, Joseph P. 2004. The Black Death. Westport, Connecticut, London: Greenwood Press.
Cohn, Samuel & Tom Beaumont James. “Black Death facts: your guide to ‘the worst catastrophe in recorded history.” Diakses Selasa, 31 Maret 2020 pukul 13:33.
Henneman, John B., Jr. 1968. “The Black Death and Royal Taxation in France, 1347-1351.” Speculum: A Journal of Mediaeval Studies 43, No. 3, Juli 1968: 405-28.
Routt, David. 2008. “The Economic Impact of the Black Death.” Diakses Rabu, 1 April 2020 pukul 10:47 WIB.
Sumber gambar: Historic UK