Jakarta – Salah satu permasalahan perpajakan di Indonesia yang hingga kini terus menguntit adalah rendahnya penerimaan pajak yang dapat dilihat dari data bank dunia masih stagnan di level 10 persen. Artinya, tingkat kepatuhan pajak Indonesia masih jauh dibanding negara-negara tetangga.
Di tengah dinamika global yang mengehendaki adanya transparansi dan pertukaran data keuangan sebagaimana yang disepakati negara-negara G20, maka menjadi penting membangun kesadaran wajib pajak untuk secara sukarela melaksanakan kewajibannya.
Hal tersebut menjadi tema besar yang diangkat dalam seminar nasional bertajuk “Menuju Era Keterbukaan Data dan Informasi Perpajakan Dalam Rangka Terwujudnya Kepatuhan Sukarela Wajib Pajak” yang diadakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakut, Selasa (11/7).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo meyakini betul, salah satu masalah yang membuat wajib pajak enggan menjalankan kewajibannya adalah prosedur yang terlalu berbelit, selain masalah lemahnya penegakan hukum terhadap para pengemplang pajak.
“Reformasi masalah perpajakan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah simpilfikasi. Sebab, persepsi masyarakat mengurus pajak terlalu rumit,” kata Yustinus.
Dirinya mengkritisi program pengampunan pajak yang tidak berimplikasi pada meningkatnya tingkat kepatuhan pajak sehingga membuat Indonesia, tetap menjadi salah satu negara paling besar penghindar pajak yang banyak wajib pajaknya mengalihkan asetnya ke negara-negara suaka pajak (tax havens) atau offshore financial center.
Diketahui, harta yang terkumpul dari pengampunan pajak mencapai Rp 4.865,77 triliun. Sedikit di atas target Rp 4.000 triliun. Menurut Yustinus, masih dibutuhkan eksekusi dari Perppu No 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sebagai bagian dari legislasi domestik agar memudahkan deteksi kecurangan pajak.
Pelaksanaan beleid tersebut penting mengingat, 60 persen harta yang dideklarasikan melalui program pengampunan pajak merupakan aset keuangan. Sebanyak 80 persen dari total harta yang terkumpul merupakan harta yang ditempatkan di dalam negeri. Hal ini menandakan minimnya kemampuan Ditjen Pajak mengakes informasi dari wajib pajak dalam negeri.
“Jika akses terhadap data/informasi keuangan domestik tidak dibuka maka menjadi inefektif dan Indonesia menjadi secrecy jurisdiction. Negara lain sudah menerapkan (keterbukaan) lebih dulu,” bebernya.
Perppu No 1/2017 sejauh ini belum disetujui DPR menjadi UU. Sementara aturan pelaksananya yakni, PMK No 70/PMK.03/2017 telah disiapkan Menkeu Sri Mulyani.
Yustinus menegaskan, untuk membangun kesukarelaan wajib pajak memenuhi kewajibannya dibutuhkan aturan hukum yang jelas, tidak remang-remang hingga menimbulkan ketidakpastian. Terpenting lagi aturan tersebut diberlakukan secara konsisten.
Staf Ahli Kemkeu bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo menjelaskan, pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of financial account information/AEOI) telah disepakati oleh negara-negara G20 berdasarkaan common reporting standard (CSR) tahun 2017.
Indonesia turut berkomitmen dengan negara-negara lain menerapkan keterbukaan informasi. Sedikitnya sudah 50 negara melakukan pertukaran pada 2017. Tahun 2018 Indonesia beserta 49 negara lainnya direncanakan untuk memulainya.
Dirinya menekankan aturan tersebut hanya digunakan untuk kepentingan perpajakan. Pemerintah atau DJP melindungi keamanan dan kerahasiaan data nasabah sesuai ketentuan perundang-undangan, dan tidak semua data nasabah juga wajib dilaporkan secara otomatis karena ada penerapan batasan.
Suryo mengatakan, pihaknya ingin membangun kepercayaan para pihak untuk menciptakan kesukarelaan wajib pajak. Hal itu dimulai dari program pengampunan pajak yang ke depan diharapkan menjadi lebih baik lagi.
“Kita mencoba rekonsiliasi melalui pengampunan pajak. Ke depan kita mau lebih baik (keterbukaan informasi). Bagi yang ikut pengampunan pajak tahun 2016 harus terus perbaiki laporannya, kalau belum mengikuti UU sudah mengatur, kita bisa melakukan pemeriksaan diawali data yang konkret,” kata Suryo.
Ketum IKPI Mochamad Soebakir menyatakan, IKPI menyadari dinamika global maupun nasional menghendaki reformasi pajak yang dimulai dari tahun 1984. Namun pihaknya berharap pemerintah gencar melakukan sosialisasi agar wajib pajak mendapat kesempatan memperbaiki SPT nya.
“Reformasi ini dimulai dari tahun 1984 yang terus berlanjut sampai ada UU Pengampunan Pajak. Sebentar lagi tidak ada kerahasiaan, yang tadinya (harta) dirahasiakan tidak bisa dirahasiakan lagi, maka wajib pajak perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki SPT nya. Harus disosialisasikan, apabila SPT sebelum 2016 bermasalah, harus dibetulkan,” kata Soebakir.
Sumber: Beritasatu.com, 11 Juli 2017
