Headline Internasional

Yellen Makes Cases for Ireland to Join Global Tax Deal

Janet Yellen, menteri keuangan Amerika Serikat, belakangan berupaya meyakinkan menteri keuangan Irlandia bahwa perjanjian pajak global akan menguntungkan bagi kepentingan ekonomi Irlandia.

Perjanjian pajak global itu sendiri ditujukan untuk mengakhiri fenomena surga pajak dan mempersempit celah bagi profit shifting. Perjanjian yang telah disetujui oleh negara-negara G20 itu akan mewajibkan setiap negara yang ikut serta untuk menetapkan pajak korporasi minimal di angka 15%. Nantinya, negara-negara yang ikut serta juga berhak menarik pajak dari perusahaan-perusahaan multi-nasional berdasarkan di mana jasa maupun barang produksi perusahaan itu dijual.

Irlandia sejauh ini enggan turut serta dalam perjanjian ini sebab strategi mereka untuk memasang tingkat pajak yang rendah, sebesar 12,5%, telah menuai sukses cukup besar bagi mereka. Namun, kesediaan Irlandia untuk bergabung sangatlah diperlukan mengingat Uni Eropa hanya dapat bergabung ke dalam perjanjian ini apabila anggota-anggotanya telah mencapai suara yang bulat. Oleh sebab itulah Janet Yellen pekan ini mengundang menteri keuangan Irlandia, Paschal Donohoe, untuk suatu pertemuan tingkat tinggi di Brussels. Selepas pertemuan itu, Donohoe tampaknya menunjukkan pertanda positif dan berminat untuk melanjutkan proses negosiasi.

Kendati telah didukung oleh lebih dari 130 negara, perjanjian ini masih menghadapi sejumlah rintangan. Selain Irlandia, masih ada negara-negara lain seperti Estonia dan Hungaria yang sejauh ini juga enggan bergabung ke dalam perjanjian pajak global. Negosiasi dengan negara-negara itu menjadi tujuan tur yang dilakukan Yellen beberapa hari ini dengan harapan Oktober mendatang perjanjian ini dapat diteken. Berkenaan dengan Irlandia, ia mencoba meyakinkan bahwa peningkatkan pajak dari 12,5% tidak akan berdampak begitu buruk bagi Irlandia mengingat angka itu masih sangat jauh dibandingkan pajak yang diberlakukan pemerintahan Biden sebesar 21%.

Pemerintahan Biden meyakini bahwa apabila perjanjian ini berhasil diteken, maka tidak akan ada lagi persaingan untuk menjadi negara dengan pajak korporasi terendah. Peraturan itu juga akan membantu negara dalam pengembangan infrastruktur dan menekan kesenjangan yang ada. Selain itu, bukan tidak mungkin perjanjian ini mampu memperkecil kemungkinan munculnya populisme sayap kanan yang dimotori oleh rasa frustasi terhadap keabaian pemerintah terhadap masyarakat kecil.

Satu isu pelik yang mewarnai negosiasi perjanjian pajak global adalah tentang bagaimana pemasukan pajak dialokasikan ke berbagai negara di dunia sebagai bagian dari pajak baru terhadap perusahaan-perusahaan besar. Di internal Amerika Serikat pun ada kerumitan tersendiri untuk meloloskan agenda ini dalam Kongres sebab ada resistensi yang cukup besar dari kubu partai Republik. Mereka keberatan apabila negara-negara lain mengenakan tarif pajak baru terhadap perusahaan-perusahaan asal Amerika yang menjual produk mereka ke negara-negara itu. Yellen menjelaskan bahwa sebenarnya keikutsertaan dalam perjanjian ini berada di bawah agenda yang lebih luas lagi. Langkah ini merupakan bagian dari upaya mengatasi ketidakadalian dalam peraturan perpajakan Amerika di mana perusahaan-perusahaan besar dapat mengelak dari membayar pajak yang sebenarnya dibutuhkan untuk memajukan negara.

Keberatan lain lagi dilayangkan perusahaan-perusahaan asal Amerika itu sendiri. Perusahaan-perusahaan itu mengklaim bahwa pajak baru ini akan membuat daya saing mereka menurun dan akan berimbas pada meningkatnya inflasi sebab kenaikan beban pajak itu pada akhirnya akan dioper kepada konsumen. Yellen memiliki sejumlah penelitian yang menyatakan sebaliknya, bahwa aturan baru itu tidak akan merugikan pekerja dan tidak akan bermuara pada melambungnya harga-harga. Dengan kata lain, perubahan peraturan pajak perusahaan tidak memiliki dampak langsung terhadap harga-harga.

Sumber: New York Times, 13 Juli 2021 | Oleh: Alan Rappeport

Komentar Anda