KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Upaya pemerintah untuk mencapai target meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio perlu dilakukan secara bertahap. Kalau dipaksakan, target tersebut terlaksana dalam satu tahun dikhawatirkan akan terjadi kontraksi ke perekonomian.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan tax ratio sebesar 16%, sedangkan tahun lalu tax ratiobaru 11,5%.
Pemerintah harus menaikkan tax ratio mencapai 4,5 persen poin. Target yang masih sulit dicapai. Sebab kenaikan pajak yang agresif kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Harus gradual, tidak mungkin satu tahun mencapai kenaikan 4,5%. Itu akan distorsi ke ekonomi karena akan kontraksi ke perekonomian,” jelas Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (17/3).
Apabila pajak agresif maka daya beli publik akan terserap ke penerimaan pajak. Imbasnya belanja konsumsi akan turun dan investasi juga ikut turun sehingga berdampak ke pertumbuhan ekonomi.
Saat ini, pemerintah sedang berusaha memperbaiki administrasi untuk meningkatkan tax ratio. Dengan usaha tersebut, Yustinus memprediksi tahun initax ratio hanya berada dikisaran 12%. Kendati demikian, perbaikan administrasi tetap memberi dampak pada peningkatan tax ratio.
“Tidak ada alasan sebenarnya kalau tidak meningkat,” jelas Yustinus.
Perbaikan ini dapat dilakukan melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) dan Tax Amnesty. Apabila sistem administrasi sudah bagus, maka pemerintah memiliki data setengah matang dari AEoI dan tax amnesty untuk kemudian ditindaklanjuti. “Harusnya naik signifikan,” imbuhnya.
Namun di sisi lain, penggunaan data AEoI dan tax amnesti menimbulkan dampak yaitu penerimaan pajak menjadi tergantung dari wajib pajak (WP) besar. Penerimaan pajak memiliki korelasi positif dengan siapa wajib pajaknya.
Kendati demikian, Yustinus optimistis dengan adanya kewajiban lembaga keuangan domestik melapor ke pajak, makan akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak di luar wajib pajak besar.
Tak hanya itu, masih ada upaya lain terkait dengan administrasi pajak pertambahan nilai (PPn). Menurut Yustinus, masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh Ditjen Pajak apabila pengawasannya baik.
Sebab masih ada kebocoran di sana sini, seperti penerbitan faktur fiktif, pengecilan omset supaya tetap dianggap usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), juga banyak yang tidak mendaftar sebagai pengusaha kena pajak padahal sudah dalam kategori pengusaha kena pajak.
“Ya effort-effort-nya harus dilakukan,” ujar dia.
Sumber: KONTAN.CO.ID, 17 Maret 2019