RMOL. Tahun 2018 tinggal menghitung hari. Menjelang tutup buku 2017, ekonomi kita mengalami defisit anggaran cukup lumayan. Jumlahnya sebesar Rp 352,7 triliun. Ini sih namanya ekonomi kita besar pasak daripada tiang.
Kabar defisit ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat mempresentasikan realiasi APBNP 2017, di kantornya, kemarin. Sri Mul optimis, sekalipun pemasukan kita lebih kecil dari pengeluaran, ekonomi nasional diyakini aman.
Menurut Sri Mulyani, defisit Rp352,7 triliun atau sekitar 2,62 persen dari produk domestik bruto (PDB) ini tidak mengkhawatirkan.
“Defisit 2,62 persen ini masih jauh di bawah maksimum yang ditetapkan dalam UU APBNP sebesar 2,92 persen. Ini berarti kita masih dalam situasi APBN yang cukup stabil,” ujar Sri Mul.
Dijelaskan, defisit ini merupakan hasil hitung-hitungan beragam pemasukan keuangan negara sampai 15 Desember lalu. Realisasi defisit anggaran tersebut, berasal dari pendapatan negara yang sudah mencapai Rp 1.496,9 triliun dan belanja negara sebesar Rp 1.849,5 triliun.
Realiasi pendapatan negara tersebut antara lain berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.211,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 281 triliun. Sedangkan realisasi perpajakan terdiri dari penerimaan pajak nonmigas Rp1.008,8 triliun, pajak penghasilan migas Rp 49,6 triliun serta kepabeanan dan cukai Rp 153,1 triliun.
Sementara, realisasi belanja negara berasal dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.132,3 triliun dan transfer ke daerah serta dana desa sebanyak Rp 717,3 triliun. Realisasi belanja pemerintah pusat tersebut terdiri dari belanja kementerian lembaga sebesar Rp 664,9 triliun dan belanja nonkementerian lembaga Rp 467,3 triliun. Kemudian, realisasi transfer ke daerah hingga pertengahan Desember 2017 telah mencapai Rp 657,5 triliun dan dana desa sebesar Rp 59,8 triliun.
Dengan realisasi sementara ini, Sri Mulyani memproyeksikan defisit anggaran pada akhir 2017 bisa mencapai kisaran 2,6 persen-2,7 persen terhadap PDB. “Defisit yang terjaga ini memperlihatkan APBN tetap terkendali dan tidak menimbulkan spekulasi dari penerimaan pajak serta belanja yang dilakukan sesuai tata kelola,” tegasnya.
Khusus untuk penerimaan pajak, targetnya juga meleset. Setoran pajak tahun ini masih kurang sekitar Rp 225 triliun dari target APBN 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. Sri Mul mencatat, penerimaan pajak sampai dengan 15 Desember 2017 telah tercapai Rp 1.058,41 triliun atau tumbuh positif 3,87% year on year.
Dengan demikian, dari sisi pencapaian, penerimaan pajak mencapai 82,46% dari target dalam APBNP 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. “Kami tidak kejar yang Rp 225 triliun yang belum terkejar. Kami perkirakan dua minggu ke depan masih ada tambahan penerimaan sekitar lebih dari Rp 100 triliun. Itu sudah diidentifikasikan,” ucapnya.
Menanggapi ini, pengamat ekonomi dari INDEF, Ahmad Heri Firdaus menyarankan pemerintah tidak bernafsu seperti tahun-tahun lalu dengan hasrat pembangunan yang besar, namun tidak diimbangi hitungan matang dari segi pemasukan.
“Sekarang kan besar pasak daripada tiang, sudah tinggal 10 hari lagi, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah selain menunda pengeluaran,” ujar Heri kepada Rakyat Merdeka. “Masalahnya, infrastruktur sudah jalan, tagihan juga berjalan. Cara pendek mengamankan defisit ya dengan ijon, tapi pemerintah pasti tidak mengakuinya,” tambahnya.
Heri khawatir, istilah aman dari Sri Mul hanya untuk menentramkan hati rakyat saja. Pasalnya, tahun ini adalah penerimaan paling parah setelah tax amnesty selesai. “Ngga ada perubahan fundamental setelah tax amnesty ini. Tahun depan kita harus lebih kerja keras. Nah, harusnya untuk program tahun depan. Saat ini pemerintah sudah sosialisasi program, jangan tiba-tiba,” pungkasnya.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo meyakini prediksi Sri Mul jika ekonomi kita tahun ini baik-baik saja. Sekalipun, pemasukan keuangan negara lebih kecil dari pengeluaran.
“Jika sesuai perkiraan, seharusnya penerimaan bisa 90% dan jika belanja tidak lebih dari 92% maka defisit masih di 2,7 persen. Seharusnya masih aman,” ujar Yustinus kepada Rakyat Merdeka.
Yustinus juga menyarankan agar pemerintah tidak memaksa pemasukan negara sesuai target. Jika dipaksakan, justru mengganggu ekonomi di tahun depan. “Kalau pajak dipaksakan 100% selain tidak dipakai belanja, juga akan mengontraksi perekonomian kita,” katanya.
Menurutnya, sebaiknya pemerintah tidak lagi melihat ke belakang dan fokus menatap ekonomi tahun 2018. Defisit ini, diharapkan menjadi pelajaran agar ekonomi kita lebih baik lagi. “Iya saya kira aman, karena akhir tahun semua juga harus tutup buku. Tidak ada belanja baru. Sekarang lebih baik memikirkan 2018 supaya tidak berat dan bisa lebih baik,” pungkasnya. ***
Sumber: RMOL.CO, 21 Desember 2017