CITA | 05 FEBRUARI 2016
Exchange of Information: Peluang dan TantanganÂ
By CITA ( Center for Indonesia Taxation Analysis)
(download pdf)
Begitu besarnya peranan pajak dalam membiayai APBN, Indonesia masih belum mencapai kinerja penerimaan yang memuaskan. Dalam 10 tahun terakhir, target penerimaan pajak hanya tercapai satu kali saja (tahun 2008). Namun demikian, berbagai penelitian justru menunjukan bahwa orang Indonesia memiliki asset yang melimpah namun belum dipajaki. Tax Justice Network (TJN) pada tahun 2010 melaporkan bahwa asset keuangan Indonesia yang berada di Negara Tax Haven mencapai USD 331 miliar[1]. Dengan menggunakan data bunga riil rata-rata Indonesia pada kurun waktu tahun 2010-2015 (5,15%), perkiraan jumlah aset keuangan tersebut pada tahun 2015 adalah sebesar USD 430 miliar atau sekitar IDR 5.844 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 52,7% dari perkiraan PDB tahun 2015 yang berjumlah IDR 11.091 triliun. Selain itu, Data dari Global Financial Integrity (GFI) juga tak kalah mencengangkan. Dalam kurun 2004-2013, aliran dana ilegal dari Indonesia mencapai USD 188 miliar[2]. Lembaga riset McKinsey pun memperkirakan ada aset di mancanegara sekitar Rp 4000 triliun. Berangkat dari fakta tersebut, diperlukan kerjasama lintas negara berupa pertukaran informasi atau Exchange of Information(EoI) guna memburu basis pemajakan lebih dalam di luar negeri .
Harta tersebut ditengarai tersimpan di negara-negaratax haven yang bercirikan[3]: (1) memiliki tarif pajak yang rendah atau tidak ada sama sekali; (2) memiliki regulasi yang menjamin kerahasiaan data dan informasi perbankan; (3) tidak adanya aktivitas substansial, yang mana pada umumnya negara ini memiliki GDP yang sangat kecil berbanding terbalik dengan kontribusi FDI yang sangat besar; dan (4) Lack of transparency, negara ini pada umumnya memiliki ‘Secret rulings’yang menghambat keterbukaan hukum di mata dunia.Keseluruhan ciri negara tax haven tersebut tentunya menguntungkan para pengemplang pajak yang menyembunyikan hartanya untuk menghindari pengenaan pajak di negaranya. Hal inilah yang menjadi justifikasi atas urgensi EoI sebagai salah satu alternatif dalam melawan praktik pengelakan pajak. Melalui keterbukaan informasi ini,ruang gerak para pengelak pajak akan sangat dibatasi.
Perkembangan EoIdi dunia internasional.
SejarahEoIuntuk tujuan perpajakan mulai dipelopori OECD sejak tahun 1998 melalui penerbitan laporan berjudul Harmful Tax Competition, yang dilanjutkan pada tahun 2000 dengan pebentukan The Global Forum on Transparency and Exchange of Information(Global Forum) lalu dibuatlahModel Agreement Exchange of Information dan Tax Information Exchenge Agreement (TIEA) pada tahun 2002. Tujuh tahun kemudian, di tahun 2009 OECD bersama dengan 127 negara (termasuk Indonesia) menyusun standard peer-review dan mulai menyuarakan EoI yang berisikan mengenai : (1) penegakan transparansi dan akses informasi untuk pertukaran informasi perpajakan (EoI); dan (2) sanksi kepada negara-negara yang menutup akses perbankannya untuk EoI. Selain itu, penguatan EoI juga dilakukan oleh salah satu negara adidaya, United Statesyang menerbitkan aturan tentang FATCA pada tahun 2010. Pertukaran Informasi (EoI) terbagi menjadi 3 jenis, yaitu (a) pertukaran informasi berdasarkan permintaan (Spesifik); (b) pertukaran informasi secara spontan; (3) pertukaran informasi secara otomatis/rutin (AEOI).
Pada pertengahan tahun 2013, OECD dan para Anggota G20, termasuk Indonesia, menyetujui Rencana Aksi BEPS, dengan berkomitmen memperbarui sistem perpajakan internasional agar dapat menghadapi tantangan globalisasi dan model usaha di abad 21. Tercantum dalam Rencana Aksi BEPS yaitu transparency yang mempayungi pertukaran informasi dalam Rencana Aksi nomer 11-13. Berikut gambar 1.1 di bawah ini adalah skema BEPS Action Plan. Selanjutnya pada Mei 2014, Indonesia, bersama dengan negara anggota OECD dan G20, mengikuti Deklarasi OECD tentang Pertukaran Informasi secara Otomatis (OECD’s Declaration on Automatic Exchange of Information), dengan memberikan komitmen untuk menerapkan standar yang baru, dengan jadwal pertukaran pertama akan dilaksanakan pada tahun 2017 dan 2018.
  Gambar 1.1 BEPS Action Plan Scheme
 Hal-hal yang harus dipersiapkan Indonesia    Â
Beberapa hal yang harus segera dipersiapkan Indonesia untuk menyelenggarakan EoI yaitu standardisasi baik secara administrasi dan hukum, yang terkait Domestic Legislation,Administrative and IT Capacity, Confidentiality and Data Safeguards, danInternational Agreements. Selain itu terkait dengan prinsip yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan EoI, yaitu:
- Tidak memindahkan beban pencarian informasi kepada negara/yurisdiksi mitra
- Telah melakukan segala upaya untuk mencari informasi di dalam negeri (Exhausted)
- Adanya kondisi apabila informasi tidak diperoleh maka proses administrasi atau penegakan hukum perpajakan tidak dapat berlangsung/berhenti (Foreseeable Relevance)
- Adanya keyakinan bahwa wajib pajak telah melakukan penghindaran/pengelakan pajak atau tax treaty abuse (Allegation)
- Adanya fakta, kondisi dan asumsi yang menjadi dasar atas tuduhan bahwa wajib pajak telah melakukan penghindaran/pengelakan pajak atau tax treaty abuse
- Adanya hal-hal yang mendasari keyakinan bahwa informasi diminta berada di negara/yurisdiksi diminta
Tantangan EoI di dunia internasional.
- Adapun beberapa tantangan EoI pada dunia Internasional adalah (1) belum dilakukan standardisasi terkait format file dan format penulisan data dan informasi yang akan ditukarkan (seperti perbedaan tipe file .csv; .xlsx; .txt; .xsd; etc dan perbedaan fomat penulisan alamat, nama dan tanggal); (2) kesulitan dalam mencocokan data (Different identifier between jurisdictions ‘Name, address, TIN, etc’); (3) perbedaan atau jeda waktuterkait dengan ketersediaan pengguna basis data SPT (Delayed on database availibility); (4) perbedaan periode penyesuaian antar yurisdiksi (Adjustments Period); dan (5) pemberian tanggapan yang kurang sigap (Delayed Feedback on Utilization).
 Peluang dan Tantangan EoI di Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (3) dan (5) OECD Model Tax Treaty, ketentuan mengenai apa saja jenis informasi dan kerahasiaan yang dapat dipertukarkan untuktujuan perpajakan dibedakan menjadi tiga jenis yaitu; (i) Âkerahasiaan bisnis; (ii) kerahasiaan professional; serta (iii) kerahasiaan bank dan kepemilikan informasi. Kerahasiaan bank menjadi salah satu jenis pertukaran informasi yang menghadapi tantangan terbesar di Indonesia.Berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan kerahasiaan perbankan, yaitu:
1.   Minimnya Koordinasi yang disebabkan oleh Tingginya Tingkat Ego-Sektoral antar masing-masing Lembaga
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai induk lembaga yang menaungi perusahaan jasa keuangan dan mengawasi transaksi atas jasa keuangan, tentunya berkeberatan apabila akses data perbankan harus dibuka untuk kepentingan penerimaan pajak karena memang hal ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perbankan yang berlaku pada saat ini. Minimnya komunikasi, koordinasi dan kerjasama yang efektif antarastakeholders, yakniDJPdengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentunya hal ini menunjukan tingginya ego-sektoral antar lembaga di Indonesia yang menjadi tantanganbesar untuk dihadapi.
2.   Regulasi : KeterbatasanWewenang Otoritas Pajak dalam Mengakses Data & Informasi
Ketentuan terkait keterbukaan akses informasi perbankan untuk tujuan perpajakan diatur oleh dua undang-undang (UU), yaitudari sisi perbankan maupun perpajakan melaluiPasal 41ayat (1) UU PerbankandanPasal 35 UU KUP. Pasal 41 ayat (1) UU Perbankan menyatakan bahwa“Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajakâ€dan Pasal 35 UU KUP yang menyatakan bahwa“Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang dimintaâ€.
Berdasarkan hal tersebut, DJP meminta perluasan kapasitas yang dimiliki dalam hal akses informasi bank, yakni agar akses informasi bank yang semula hanya diperbolehkan dalam rangka pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kini juga diperbolehkan untuk kepentingan pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak. Di lain sisi, perbankan cenderung resisten terhadap pertukaran informasi tersebut.Oleh karenanya, diperlukanharmonisasi dan koordinasi antara otoritas pajak dan perbankan dalam mengimplementasikan kebijakan pertukaran data dan informasi untuk tujuan perpajakan tersebut.
3.   Taxpayer Protection(Resiko terjadinya Fishing Expedition)
Dalam “Taxpayers’ Rights and Obligations – Practice Note†oleh OECD Committee of Fiscal Affairs on Tax Administration dijelaskan bahwa pada Negara demokrasi, Wajib Pajak akan memiliki beberapa hak dan kewajiban dasar dalam hubungannya dengan pemerintah dan kementerian/lembaga di bawah pemerintah. Pada tahun 1990 dilakukan survey terhadap Negara-negara anggota OECD lalu didapatkan kesimpulan bahwa beberapa hak dasar yang diberikan kepada WP, antara lain: (1) Hak untuk mendapatkan informasi, panduan, dan perhatian (The right to be informed, assisted and heard); (2) Hak untuk menggugat (The right of appeal); (3) Hak untuk tidak membayar lebih dari jumlah pajak yang benar (The right to pay no more than the correct amount of tax); (4) Hak atas kepastian (The right to certainty); (5) Hak atas privasi individu (The right to privacy); dan (6) Hak atas kerahasiaan (The right to confidentiality and secrecy). Khususnya, prinsip Right to Confidentiality and Secrecy mengatur kewajiban otoritas pajak untuk: (i) tidak menggunakan atau membuka infomasi pribadi atau keuangan WP, kecuali diperkenankan oleh hukum; dan (ii) hanya mengizinkan petugas hukum berwenang untuk mengakses data privasi atau informasi keuangan WP (OECD:2003).Berdasarkan haltersebut, Indonesia dalam UU KUP telah memiliki Pasal 34 yang menyatakan bahwa “setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannyaâ€. Namun demikian, sebagian besarWP tetap merasa khawatir jika informasi bank yang diberikan kepada Ditjen Pajak tidak terjamin kerahasiaannya atau digunakan untuk tujuan lainnya (fishing expeditions), sehingga resistansi WP menjadi suatu tantangan lumrah yang harus dihadapi oleh negara Indonesia.