Jakarta, CNN Indonesia — Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mewajibkan yayasan untuk membuka data pemilik manfaatnya (beneficial ownership). Upaya ini dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris.
Hal itu tertuang dalam draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dan Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Dalam pasal 2 ayat 1 draf itu disebutkan, pengaturan dalam Perpres ini melingkupi penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi.
“Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi perseroan terbatas; yayasan; perkumpulan; koperasi; persekutuan komanditer; persekutuan firma; atau bentuk korporasi lainnya,” demikian bunyi pasal 2 ayat 2 Perpres itu, dikutip Rabu (15/11).
Berdasarkan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat, korporasi wajib menetapkan paling sedikit satu pemilik manfaat dari korporasi yang bersangkutan.
Otoritas berwenang dapat menetapkan pemilik manfaat diluar pemilik manfaat sebagaimana dimaksud. Penetapan pemilik manfaat lain oleh otoritas berwenang sebagaimana dimaksud dilakukan atas dasar penilaian otoritas berwenang yang bersumber dari beberapa hal.
Pertama, hasil audit terhadap korporasi yang dilakukan oleh otoritas berwenang berdasarkan Perpres terkait.
Kedua, informasi instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang mengelola data dan/atau informasi pemilik manfaat, dan/atau menerima laporan dari profesi tertentu yang memuat informasi pemilik manfaat.
Ketiga, informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyambut positif rencana terbitnya Perpres itu. Menurutnya, hal ini merupakan sebuah terobosan dari yang selama ini menjadi wacana, yaitu transparansi beneficial ownership.
“Tapi, sayangnya aturan ini masih terbatas soal pencucian uang dan terorisme. Kalau bisa diakses lebih luas, seharusnya perpajakan terbantu dengan terbukanya data ini. Tax amnestybisa dipastikan lebih mudah dilakukan jika ada hal ini,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Sebelumnya, Jokowi bakal ‘menelanjangi’ pemilik manfaat perusahaan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.
Dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan.
“Korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan penerima manfaat dari hasil tindak pidana untuk melakukan kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga perlu mengatur penerapan prinsip mengenali penerima manfaat dari korporasi,” demikian bunyi salah satu ayat pertimbangan Perpres itu.
Disebutkan bahwa pemilik manfaat adalah orang perseorangan, termasuk orang perseorangan dalam korporasi yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi atau pengurus pada korporasi.
“Memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini,” tulis draf Perpres itu.
Nantinya, korporasi diwajibkan menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi itu sendiri. Kemudian, informasi pemilik manfaat dari korporasi paling sedikit mencakup beberapa hal, mulai dari nama lengkap hingga Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). (bir)
Sumber: CNNINDONESIA.COM, 16 November 2017