CITAX

KPK, KPPU, dan Ditjen Pajak Diminta Cegah Kerugian Negara akibat Perang Tarif Seluler

KOMPAS.COM | 14 Oktober 2016
1634277shutterstock-101163595780x390
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan diminta untuk segera turun tangan mencegah kerugian negara akibat perang tarif seluler.
Perang tarif seluler ini merupakan imbas dari polemik antaroperator yang dipicu revisi PP 52 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 Tahun 2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan bahwa tujuan revisi dua PP ini adalah untuk efisiensi industri telekomunikasi. Dalam revisi PP tersebut, termaktub usulan aturan berbagi jaringan dan interkoneksi.
Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman, justru berpendapat bahwa revisi dua PP ini akan menciptakan inefisiensi. Bahkan, dampaknya bisa lebih luas lagi, yakni berpotensi merugikan negara.
Menurut dia, memang revisi PP ini seolah-olah membuat efisiensi. Padahal, efisiensi ini hanya terjadi pada sebagian operator, tetapi di sisi lain bisa membawa kerugian multiplier effect bagi industri telekomunikasi.
“Jadi secara agregat tidak menguntungkan sektor telekomunikasi. Itu yang menjadi perhatian dari Ombudsman,” kata Alamsyah dalam keterangannya, di Jakarta.
Menurut dia, revisi dua PP ini cenderung berpotensi merugikan keuangan negara dan dapat menimbulkan mala-administrasi.
Salah satu bukti mala-administrasi yang akan terjadi adalah adanya perang tarif antaroperator telekomunikasi. Alamsyah melihat indikasi perang harga antar-operator telekomunikasi sudah mulai terlihat dari tarif promosi yang mereka keluarkan.
Memang tarif promosi diperbolehkan dalam regulasi telekomunikasi. Namun, promosi yang tidak memiliki batas waktu yang jelas dan selalu diperpanjang oleh operator, menurut Alamsyah, bisa dikategorikan sebagai perang harga.
“Jika perang harga ini terus terjadi maka potensi penerimaan negara dari PPn akan berkurang,”
Alamsyah menilai, selama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika membiarkan sejumlah operator melakukan praktik promosi dan penjualan produk di bawah harga pokok produksi.
Jika pemerintah terus membiarkan praktik promosi seperti ini, maka potensi pendapatan negara dari PPn akan hilang.
“KPK juga seharusnya bisa memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif ini. Karena ada potensi kerugian negara maka KPK bisa memeriksa praktik perang harga yang merugikan negara tersebut,” terang dia.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan bahwa selain KPK, maka KPPU dan Ditjen Pajak juga dapat segera memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif.
“Sebab perang tarif yang dilakukan oleh operator telekomunikasi tersebut mengarah ke predatory pricing yang berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak,” katanya.
Menurut dia, ketika operator menjual harga produknya di bawah harga pokok penjualan, maka hal itu akan membuat operator merugi. Jika merugi, maka operator tak membayar pajak. Akibatnya, negara tidak bisa melakukan belanja publik. Menurut Yustinus, yang rugi akibat predatory pricing sebenarnya publik secara luas.
Yustinus memberikan contoh, yakni Axis, yang dahulu melakukan perang harga. Operator yang telah diakuisisi oleh XL Axiata ini mendapatkan surat ketetapan pajak (SKP) sebesar Rp 1 triliun dari PPn.
Axis dikenakan SKP tersebut dikarenakan tidak memunggut PPn dari biaya promosi. Seharusnya biaya promosi melekat pada harga jual produk. Namun, Axis melakukan diskon harga produknya tersebut.
Axis dari berdiri sampai diakusisi XL tidak pernah untung.
Yustinus menjelaskan, saat ini hanya satu operator telekomunikasi yang membayar PPh badan. Operator yang lain selalu rugi fiskal karena rugi selisih kurs dan biaya bunga. Seharusnya, jika untung, maka operator tersebut masing-masing bisa membayar PPh badan sebesar Rp 2 triliun per tahun.
“Modus-modus seperti ini yang seharusnya diperiksa KPK dan Ditjen Pajak,” kata dia.
Dia menambahkan, di dalam pajak ada istilah pajak substance over form. “Harus diuji apakah penggunaan merek akan meningkatkan kinerja atau profitabilitas. Kalau tidak ada kontribusinya, itu tidak boleh dibayarkan,” kata Yustinus.
Kompetisi
Leonardo Henry Gavaza CFA, analis saham PT Bahana Securities, mengatakan, revisi dua PP tersebut memang diciptakan untuk kompetisi dan persaingan harga antaroperator penyelenggara telekomunikasi.
Dia mengatakan, beberapa waktu yang lalu, XL Axiata mengeluarkan promosi Rp 59 per menit untuk tarif telepon antar-operator. Sebelumnya, Indosat Ooredoo mengeluarkan tarif promosi Rp 1 per detik untuk tarif telepon antar-operator.
Selain mengeluarkan tarif promosi, Indosat dan XL juga mengeluarkan paket bicara antaroperator yang dijual di bawah harga pokok produksinya. Anak usaha Ooredoo ini mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dibanderol Rp 135.000 atau setiap menit Rp 225.
Sementara itu, XL mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan berkuota 600 menit dengan harga Rp 120.000 atau Rp 200 per menit.
“Jika kita merujuk penetapan tarif interkoneksi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 250 per menit, ini artinya kedua operator tersebut melakukan dumping atau menjual produknya di bawah harga pokok penjualan (HPP),” kata dia.
Dia menambahkan, meskipun Indosat ataupun XL bisa berdalil program promosi dengan memangkas tarif originasi, program tersebut terbilang tidak masuk akal karena operator kerap melakukan perpanjangan program promosi mereka tanpa tenggat waktu yang jelas.

Komentar Anda