Liputan6.com, Jakarta – Program tax amnesty akan selesai pada 31 Maret 2017 atau tiga hari lagi. Itu artinya, tidak ada lagi kesempatan bagi para Wajib Pajak (WP) memperoleh pengampunan kedua atas dosa dan kelalaian dalam membayar pajak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berbekal data akan agresif melakukan pemeriksaan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai secara umum pelaksanaan program tax amnesty selama 9 bulan berhasil. Dari data dashboard tax amnesty Ditjen Pajak, nilai harta yang dideklarasikan hingga saat ini mencapai Rp 4.664 triliun.
Itu berasal dari 830.259 WP yang ikut tax amnesty dengan menyampaikan 871.218 Surat Pernyataan Harta (SPH). Sementara uang tebusan yang terkumpul sebesar Rp 109 triliun, sedangkan termasuk dengan pembayaran bukti permulaan dan tunggakan sebesar Rp 124 triliun.
“Program tax amnesty secara umum dinilai berhasil,” kata Prastowo di Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Keberhasilan itu, diakuinya terutama dari meningkatkan kesadaran akan pajak, membangun diskursus perpajakan yang lebih inklusif-partisipatif, deklarasi harta yang selama ini belum dilaporkan, dan uang tebusan sebagai penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.
“Salah satu buah keberhasilan program ini adalah menjadikan pajak sebagai bahan percakapan di ruang publik,” Prastowo menuturkan.
Namun dia melihat realisasi repatriasi atau pengalihan dana dari luar negeri ke dalam negeri di program tax amnesty masih jauh di bawah target. Sampai dengan sekarang, komitmen repatriasi sebesar Rp 146 triliun atau hanya 14,6 persen dari target Rp 1.000 triliun.
“Pemerintah harus segera mengevaluasi rendahnya minat peserta tax amnesty merepatriasi harta. Perlu juga mengambil langkah-langkah perbaikan yang fundamental dan signifikan,” sarannya.
Di samping itu, Prastowo menambahkan, besarnya harta WNI yang telah dideklarasi sebagai harta luar negeri sebesar Rp 1.028 triliun dari keseluruhan Rp 4.664 triliun menjadi peluang bagi investasi pasca tax amnesty. Sementara deklarasi harta di dalam negeri mencapai Rp 3.491 triliun.
Bertolak dari pelaksanaan amnesti pajak, pemerintah membutuhkan koordinasi integrasi dan sinergi yang lebih baik, konkret, dan terukur, terutama secara vertikal harus mampu melibatkan peran aktif Pemerintah Daerah.
Lebih jauh Prastowo berpendapat, partisipasi masyarakat dalam program tax amnesty juga belum maksimal. Perluasan basis pajak, yang salah satunya dicerminkan dengan tambahan wajib pajak baru, justru tidak terjadi. Meski banyak faktor yang mempengaruhi, setidaknya dapat dinilai bahwa sosialisasi, dalam arti membangun kesadaran bahwa ada program tax amnesty telah berhasil dicapai.
“Tapi belum terjadi internalisasi, bahwa program ini memang kebutuhan dan harus diikuti. Dengan kata lain, pasca tax amnesty harus digencarkan ekstensifikasi (penambahan wajib pajak baru) melalui kerjasama antarlembaga yang efektif,” harapnya.
Target vs Realisasi
Adapun pencapaian tax amnesty hingga saat ini (target vs realisasi):
– Uang tebusan berdasarkan SPH yang masuk Rp 109 triliun, mencapai 66,1 persen dari target yang dipatok Rp 165 triliun. Jika dilihat dari komposisi uang tebusan berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) Rp 124 triliun, sudah mencapai 75,2 persen dari target.
– Realisasi dana repatriasi Rp 146 triliun, baru 14,6 persen dari target yang digembar-gemborkan pemerintah Rp 1.000 triliun
– Pencapaian deklarasi harta di dalam maupun luar negeri sebesar Rp 4.664 triliun, melampaui target Rp 4.000 triliun. Prosentasenya 116,6 persen
– Peserta tax amnesty yang melaporkan SPH sebanyak 830.259 WP, baru 41,5 persen dari target 2 juta WP.
Reformasi Pajak
Prastowo menjelaskan, program tax amnesty adalah pintu pembuka dan jembatan menuju reformasi pajak yang menyeluruh. Reformasi pajak ini akan menjadi babak baru sistem perpajakan yang disangga pilar kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak.
Dirinya meminta pemerintah segera menyelesaikan peta jalan reformasi yang sudah disepakati, termasuk menagih dukungan politik dan komitmen DPR agar pasca tax amnesty tidak menimbulkan ketidakpastian baru. Beberapa inisiatif pemerintah, seperti wacana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Keterbukaan Informasi perlu didukung penuh, termasuk perlindungan hak-hak dan kesetaraan kedudukan wajib pajak.
Adapula implementasi Nomor Identitas Tunggal, revisi UU Perpajakan dan UU Perbankan, transformasi kelembagaan dengan membangun Badan Penerimaan Perpajakan yang kredibel, dan sistem akuntabilitas melalui simplifikasi dan transparansi administrasi, peningkatan integritas dan kompetensi sumber daya manusia.
Prastowo mengingatkan kepada WP bahwa mandat UU Pengampunan Pajak, khususnya Pasal 18 cukup jelas. Ditjen Pajak mempunyai kewenangan melakukan penegakan hukum apabila WP tidak ikut tax amnesty, tetapi ditemukan harta yang belum dilaporkan, atau ikut tax amnesty tapi tidak sepenuhnya jujur.
“Kewenangan ini mutlak diperlukan dan penting dieksekusi agar wibawa pemerintah yang telah memberikan tax amnesty tetap tegak terjaga,” tegasnya.
Namun penegakan hukum harus terukur, didasarkan pada analisis risiko, prinsip objektivitas, fairness, dan sesuai tata cara pemeriksaan pajak yang baku. Sebagai implementasi dari prinsip keadilan, WP juga tetap dijamin haknya untuk mengajukan keberatan atau banding sesuai UU.
Menurut Prastowo, jika program tax amnesty pada 2016 menjadi determinan penting penerimaan APBN, yakni mencapai sekitar 10 persen dari penerimaan pajak, maka di 2017 sangat bergantung pada kemampuan otoritas pajak menindaklanjuti data tax amnesty.
“Jadi titik krusialnya adalah menyiapkan kebijakan dan strategi yang tepat agar penerimaan negara pasca tax amnesty dipastikan terjaga dan meningkat,” kata dia.
Dukungan regulasi, kelembagaan, administrasi, dan teknis amat diperlukan. Karenanya sudah selayaknya menjalin koordinasi dan kerja sama yang lebih erat, luas, dan formal.
Kesulitan mengharapkan kebijakan terbaik dalam jangka pendek menuntut komitmen, kreativitas, peremajaan spirit, dan lingkungan kerja yang kondusif agar the second best policy dapat tersedia dan diimplementasikan. Salah satunya berpegang teguh pada prinsip 3C (clarity, certainty, consistency). (Fik/Gdn)
Sumber: Liputan6.com, 28 Maret 2017