INDOPOS.CO.ID-Kekhawatiran pelaku industri rokok patut mendapat perhatian pemerintah. Sebab, bukan tidak mungkin industri rokok bakal gulung tikar. Selain kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), industri rokok juga harus berperang melawan mafia peredaran rokok ilegal.
Berdasar data Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) 3 tahun terakhir, produksi rokok stagnan. Rokok ilegal semakin merajalela. Di mana, rokok legal dibanderol Rp 18.000 per bungkus, rokok ilegal dilepas di kisaran Rp 8.000 per bungkus.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut saat ini merujuk penelitian UGM, peredaran rokok ilegal mencapai 12 persen. Itu dipicu regulasi dan permintaan tinggi pasar. ”Ini harus distop. Jumlahnya tidak boleh meningkat,” ungkap Yustinus.
Menyinggung penerimaan cukai tahun lalu, Yustinus mengatakan kondisi itu harus dikembalikan pada fungsi cukai. Di mana, cukai bertujuan untuk pengendalian produk berdampak negatif.
Nah, kalau akhirnya menjadi pemasukan bagi kas negara itu soal lain. Karena itu, untuk menambah pendapatan melalui cukai, pemerintah bisa melakukan ekstensifikasi objek cukai. Negara mempunyai obyek cukai paling sedikit, hanya tiga. ”Jadi, ekstensifikasi menjadi keniscayaan pemerintah,” saran Yustinus.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelumnya melansir penerimaan cukai menurun dilihat dari hasil realisasi sementara APBN-P 2016. Penerimaan cukai 2016 mengalami shortfall Rp 4,6 triliun dibanding target APBN-P 2016.
Pemerintah mencatat total penerimaan cukai untuk sementara mencapai Rp 143,5 triliun, atau setara 92,7 persen proyeksi APBN-P 2016 senilai Rp 148,1 triliun. Koreksi penerimaan cukai dipicu penurunan produksi hasil tembakau. Di mana, sepanjang tahun lalu hasil produksi tembakau 342 miliar batang alias defisit 1,7 persen dari periode sama 2015 di kisaran 348 miliar batang. (far)
Editor : Wahyu Sakti Awan
Sumber: INDOPOS.CO.ID | 08 Januari 2016