Jakarta, CNN Indonesia — Lebarnya ketimpangan ekonomi di Indonesia masih menyisakan kekhawatiran. Data Oxfam Indonesia dan INFID bahkan menyebutkan, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Selain disebabkan lebih cepatnya kenaikan pendapatan masyarakat kelas atas dibandingkan kelas bawah, pungutan pajak yang belum sepenuhnya progresif juga turut berkontribusi.
Data terakhir Badan Pusat Statistis (BPS) untuk mengukur ketimpangan ekonomi atau gini ratio juga tak banyak menunjukkan kemajuan. Per Maret 2017, gini ratio tercatat sebesar 0,393 pada Maret 2017. Angka ini hanya menurun sebesar 0,001 poin jika dibanding dengan gini rasio pada September 2016 yang sebesar 0,394.
Director of Economics Analysis and Operational Support Division Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting mengatakan, secara sederhana, ketimpangan pendapatan di Indonesia terjadi karena pendapatan masyarakat kaum kelas atas di Indonesia naik lebih cepat jika dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah.
Di samping itu, pungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya progresif. Menurut Edimon, sistem perpajakan di Indonesia belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat kelas bawah.
“Ketimpangan kepemilikan aset, akses pendidikan, kepemilikan bangunan itu adalah penyebab tambahan adanya ketimpangan ekonomi di Indonesia. Namun di satu sisi, ada pajak yang belum jelas. Kita belum mampu meningkatkan kepatuhan pajak,” kata Edimon dalam diskusi Indonesia Development Forum 2017, Kamis (10/8).
Pendapat Edimon tersebut juga diamini oleh, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Menurutnya, sistem perpajakan di Indonesia belum efektif mengurangi ketimpangan pendapatan, padahal seharusnya pajak bisa menjadi alat redistribusi kekayaan yang paling efektif.
Jika mengacu pada data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), bentuk penerimaan pajak di negara-negara maju lebih didominasi oleh pajak penghasilan (PPh) individu (PPh 21) kemudian disusul oleh pajak pertambahan nilai (PPN), lalu pajak penghasilan (PPh) badan atau perusahaan.
Namun, di Indonesia, struktur penerimaan tersebut justru terbalik. Porsi penerimaan pajak dari individu khususnya non karyawan, justru menempati posisi buncit dalam catatan penerimaan pajak di Indonesia. Padahal, para wajib pajak (WP) yang masuk dalam kategori PPh 25/29 mayoritas merupakan pengusaha atau wiraswasta yang tak dipungkiri, sebagian memiliki pendapatan yang tinggi.
Realisasi penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi (WP OP) selama semester I 2017 hanya mencapai Rp 61,4 triliun. Perinciannya, penerimaan PPh 21 sebesar Rp 55,6 triliun dan PPh 25/29 dari orang pribadi Rp 5,8 triliun.
Untuk mengubah pola penerimaan pajak tersebut, Yustinus merekomendasikan Indonesia meniru sistem pajak warisan (Inheritance Tax) yang diterapkan oleh negara Jepang. Pemerintah negara Sakura menerapkan tarif pajak 10 hingga 70 persen atas warisan yang dilimpahkan oleh orang tua kepada anaknya. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp 228,7 triliun. Posisi penerimaan PPN yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PPh menurut Yustinus tidak mencerminkan kemampuan orang dalam membayar pajak.
“Masalah kita yang sekarang adalah bagaimana membalik struktur ini, sehingga orang yang lebih mampu itu membayar pajak lebih besar dibanding orang yang tidak mampu, dengan demikian problem ketimpangan bisa teratasi,” ujar Yustinus.
Menurut Yustinus, otoritas pajak belum bisa sepenuhnya mengoptimalkan data atau basis pajak yang ada selama ini. Data deklarasi program amnesti pajak telah menunjukan betapa besarnya harta WP individu para konglomerat yang selama ini disembunyikan dari pantauan otoritas pajak.
Hal ini terkonfirmasi oleh adanya satu WP peserta amnesti pajak yang membayar uang tebusan pengampunan pajak hingga Rp1,8 triliun. Artinya, dia mendeklarasi aset sekitar Rp100 triliun
“Akses kepada orang-orang di lapisan atas kekayaan belum banyak yang tersentuh,” katanya.
“Karena tidak sepantasnya orang turun-temurun memilki kekayaan. Ini akan membuat semakin tinggi ketimpangan, maka negara berhak mengambil kekayaan itu untuk diredistribusikan kepada kelompok yang kurang mampu,” katanya.
Pmerintah pun kini tengah mencari celah supaya pajak bisa menjadi instrumen yang bisa mengatasi ketimpangan. Rencana pengenaan pajak yang lebih adil akan dimasukkan dalam revisi regulasi perpajakan, misalnya Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Kedua revisi undang-undang tersebut sudah mulai dibahas pemerintah dan masuk dalam kajian akademis.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam memperbaiki ketimpangan tidak hanya bisa bertumpu pada satu instrumen. Pemerintah harus melihat seluruh dimensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau melihat pajak dari sisi penerimaan dan belanja.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai, selama ini kebijakan pajak sebenarnya sudah cukup progresif. Hal ini dibuktikan dari rendahnya tarif pajak Usaha Kecil Menengah (UKM) dan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang masih tergolong tinggi di Asia.
“Mungkin masalahnya lebih kepada kemampuan untuk mengumpulkannya, bukan kepada masalah tarifnya, karena tarifnya sudah cukup progresif,” jelasnya.
Kini, pemerintah pun telah meminta tim pajak untuk melihat praktik kebijakan pajak di berbagai negara. Upaya ini dilakukan agar mereka bisa melihat area-area penerimaan yang bisa diperbaiki untuk menjalankan keadilan dalam perpajakan. (agi)
Sumber: CNNIndonesia.com, 15 Agustus 2017