CITAX H2

Pemerintah Disarankan Tunjuk Importir, Bantu UKM Impor Borongan

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pemerintah perlu menunjuk beberapa importir untuk melakukan impor borongan. Tujuannya, membantu Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), termasuk para pebisnis online memasok barang kebutuhan bisnisnya.

Kebijakan ini dinilai Prastowo bisa menjadi solusi sementara menyusul langkah pemerintah melarang impor borongan. Pemerintah mengambil langkah tersebut lantaran impor borongan dinilai rawan penyelewengan. Alhasil, barang-barang yang kedapatan diimpor dengan cara itu pun ditahan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sampai izin-izinnya terpenuhi.

“Menurut saya jalan tengahnya menunjuk beberapa importir yang bisa diawasi pemerintah. Dia bisa jadi importir dengan cara borongan, tapi untuk UMKM saja sembari menunggu (UMKM) dapat izin,” kata dia kepada Katadata, Kamis (28/9). (Baca juga: Impor Borongan Dilarang, Barang Bisnis Online Tertahan)

Ia berpendapat, kebijakan tersebut adil untuk UMKM, karena selama ini perizinan impor barang memang panjang dan berbelit-belit. Misalnya, produk perawatan wajah yang selama ini banyak dijual oleh pedagang online atau e-commerce harus mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan sebagainya.

Dengan jalan ini diharapkan aktivitas bisnis pelaku usaha UMKM tidak terganggu. “Sembari menunggu UMKM mengurus izin, pemerintah harus cepat mengubah tata niaganya,” kata dia.

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Ditjen Bea Cukai Devid Yohannis Muhammad mengatakan, beberapa jenis barang impor borongan yang biasanya tertahan lama di antaranya produk besi, baja, dan turunannya, serta mainan anak-anak. Penyebabnya, bisa karena perizinan yang belum lengkap atau kewajiban yang belum dipenuhi.

Bila importir tak kunjung memenuhi persyaratan, maka Bea Cukai akan menganjurkan yang bersangkutan untuk mengekspor kembali barang-barangnya. “Banyak perusahaan itu saat izin ke kementerian dan lembaga terkendala, karena pemiliknya tidak punya izin impor, atau tidak punya angka pengenal impor atau registrasi kepabeanan. Solusinya? Kami beri kesempatan untuk mengekspor kembali,” kata dia.

Sepengetahuan dia, sejak keluhan terkait impor borongan meningkat sejak terbentuknya Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) Juli lalu. Karena sejak saat itu, tidak diperbolehkan impor borongan barang dengan satu invoice seperti selama ini dilakukan. Artinya, invoice harus per item barang.

“Ini bukan semata-mata meningkatkan penerimaan, tapi juga kepatuhan masyarakat. Supaya Badan Pusat Statistik (BPS) juga bisa catat jenis barangnya. Dan bisa jadi pertimbangan pemerintah mengkaji hubungan dagang ke luar negeri,” kata Devid.

Menurut dia, DJBC sudah secara rutin berdiskusi dengan sekitar 30 hingga 50 asosiasi terkait aturan tersebut. Dari diskusi itu, ia mengakui sebagian besar pengusaha meminta perpanjangan waktu. “Sampai Juli kemarin sempat ada resistensi. Tapi di Agustus dan September ini belum ada lagi. Saya asumsikan mereka menahan importasi atau sudah comply (patuh),” ujar dia.

Di sisi lain, ia menjelaskan, impor barang e-commerce yang melewati Bandara Soekarno Hatta meningkat empat kali lipat dibanding tahun lalu. Hal ini lantaran Ditjen Bea Cukai memberlakukan aturan bahwa pengiriman barang dari luar negeri dengan total maksimal US$ 100 dalam sehari tidak dikenakan tarif bea masuk dan pajak dalam rangka impor.

Sumber: KATADATA.CO.ID, 28 September 2017

Komentar Anda