Siaran Pers

Siaran Pers CITA terkait Realisasi Penerimaan Pajak 2019

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
Siaran Pers
terkait Realisasi Penerimaan Pajak 2019

Sehubungan telah dipublikasikannya realisasi penerimaan pajak 2019, kami menyampaikan pandangan sebagai berikut.

1. Tahun 2019 sungguh menjadi tahun yang tidak mudah bagi dunia perpajakan. Tekanan ekonomi global, perlambatan ekonomi domestik, dan dinamika politik mewarnai kinerja sepanjang tahun. Penerimaan pajak kembali tidak mencapai target, yaitu terealisasi Rp 1.332 T atau 84,4% dari target. Dengan kata lain terjadi shortfall Rp 245 T atau meleset Rp 105 T dari outlook Pemerintah sebesar Rp 140 T. Berarti 10 tahun terakhir Pemerintah belum berhasil mencapai target pajak yang ditetapkan dalam APBN. Secara keseluruhan, realisasi penerimaan pajak 2019 tersebut masuk dalam rentang proyeksi penerimaan pajak yang dilakukan oleh Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Sebelumnya, CITA memproyeksi penerimaan pajak 2019 berada di kisaran Rp1310-Rp1349 T atau 83%-85% dari target dalam APBN. Ini artinya, CITA memperkirakan shortfall pajak berada di antara Rp228 T – Rp267 T.

2. Secara persentase, realisasi penerimaan pajak tahun 2019 lebih rendah dibandingkan dua tahun terakhir, yakni di tahun 2017, realisasi penerimaan pajak  89,7% dan di tahun 2018 kembali meningkat menjadi 92,4%. Namun realisasi 2019 ini masih lebih baik dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2015 tahun 2015 dan 2016 yang mencapai 82% dan 81,6%. Volatilitas pencapaian target penerimaan ini perlu diantisipasi dan dianalisis secara mendalam demi mendapatkan formula pemungutan pajak yang efektif dan sustain.

3. Realisasi penerimaan pajak tahun 2019 hanya tumbuh sebesar 1,24%. Pertumbuhan realisasi ini menjadi terendah semenjak tahun 2009 pasca Global Financial Crisis (GFC) menghempas ekonomi dunia. Rendahnya pertumbuhan inilah yang menjelaskan rendahnya realisasi terhadap target penerimaan pajak dan perlu dikenali lebih detail penyebabnya. Dengan kata lain, rendahnya realisasi terhadap target terjadi bukan karena pemerintah telah mengesampingkan prinsip prudence dalam penyusunan APBN namun karena hal lain.

4. Rendahnya pertumbuhan realisasi penerimaan disebabkan beratnya tantangan pemungutan pajak di tahun 2019. Setidaknya ada 5 penyebab:  (i) Kita tak bisa pungkiri, kinerja penerimaan pajak kita sangat bergantung pada kondisi perekonomian, terutama harga komoditas. Ini permasalahan struktural yang tak dapat diperbaiki dalam jangka pendek. Turunnya harga komoditas di tahun 2019 menekan kinerja penerimaan pajak terutama dari sektor perkebunan, migas dan pertambangan, (ii) Di samping harga komoditas, dari data makroekonomi dapat kita lihat bahwa sektor perdagangan internasional kita juga menurun. Penurunan ini secara langsung akan berdampak pada penerimaan PPN Impor. Tak ayal, kinerja penerimaan PPN juga tertekan dengan realisasi yang hanya 81,3%. (iii) Insentif pajak yang cukup banyak digelontorkan, antara lain tax holiday, tax allowance, kenaikan PTKP, kenaikan threshold hunian mewah, dan restitusi dipercepat. (iv) pemanfaatan data dan informasi yang belum optimal, dan (v) tahun politik yang memaksa dilakukannya moratorium tindak lanjut data/informasi dan tertundanya pemungutan pajak beberapa sektor, seperti e commerce.

5. Lalu bagaimana untuk tahun ini? Tak jauh berbeda dengan tahun 2019, ekonomi pada tahun 2020 masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Kinerja pertumbuhan penerimaan dapat diperkirakan tidak mengalami perubahan besar. Namun, untuk mencapai target penerimaan pajak di tahun 2020 pertumbuhan penerimaan perlu meningkat sebesar 23,3% (dari realisasi 2019). Tentunya ini sulit untuk direalisasikan, pemerintah memiliki opsi untuk menurunkan target penerimaan dalam APBN-P. Pilihan ini-pun sulit, mengingat Pemerintah pernah berkomitmen untuk tidak ada lagi APBN-Perubahan demi menjaga kredibilitas APBN. Namun demi menjaga kesinambungan fiskal dan mencegah pelebaran defisit yang akan menaikkan porsi pembiayaan dari utang, maka revisi target di APBN menjadi pilihan paling rasional dan reasonable.

6. Pada akhirnya diperlukan pemantapan strategi untuk menggenjot penerimaan pajak yang sustain dan berkeadilan. Selain reformasi perpajakan yang sedang berjalan, salah satu terobosan baru oleh pemerintah yakni melalui omnibus law perpajakan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa omnibus law perpajakan harus berada pada rel yang sama dengan reformasi perpajakan yakni dengan memastikan omnibus law perpajakan memiliki visi yang sama dengan reformasi perpajakan. Kebutuhan penerimaan negara yang terus meningkat tetap harus memperhatikan pentingnya menjaga iklim bisnis dan fairness praktik perpajakan.

7. Adapun strategi lainnya yang dapat dilakukan: (i) memperluas basis pajak melalui tindak lanjut data perpajakan pasca-amnesti dan hasil akses/pertukaran informasi, terutama dalam rangka penegakan hukum, terutama dengan sinergi kelembagaan. (ii) menginisiasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai common identifier (penanda tunggal) seluruh transaksi dan aktivitas warga negara. Selain itu juga perlu dilakukan pemutakhiran data NIK pada database sektor keuangan. Dalam jangka pendek, NIK harus digunakan sebagai identitas wajib dalam Faktur Pajak pada setiap transaksi yang melibatkan orang pribadi. (iii) Perbaikan administrasi perpajakan (core tax system) harus didukung dan dituntaskan, termasuk perbaikan administrasi dan tata kelola perpajakan terhadap isu-isu utama yang belum tercakup dalam omnibus law (misalkan melalui survei persepsi wajib pajak, identifikasi permasalahan di lapangan, dan upaya duduk bersama antara otoritas pajak, DPR, dan komunitas wajib pajak). (iv) pemeriksaan pajak dan penegakan hukum yang terukur dan profesional untuk menciptakan efek kejut dan efek bola salju kepatuhan oajak, dan (v) melakukan evaluasi menyeluruh dan reorientasi skema fasilitas perpajakan yang selama ini telah digelontorkan. Insentif harus diarahkan pada upaya mendorong ekspor, memperkuat reindustrialisasi, memperkuat UMKM dan koperasi, meningkatkan produktivitas modal, mengintegrasikan ekonomi Indonesia dalam global value chain,  mendorong penyerapan tenaga kerja, dan mendukung riset dan pengembangan.

Apresiasi kami sampaikan pada Ditjen Pajak yang sudah berupaya maksimal, wajib pajak yang terus berkontribusi di tengah tantangan ekonomi, dan para tax intermediaries yang mendukung kinerja perpajakan.

Demikian disampaikan untuk dapat disebarluaskan ke publik, demi semakin baiknya sistem dan praktik perpajakan Indonesia. atas kerja sama yang baik dihaturkan terima kasih.

Jakarta, 7 Januari 2020
Salam hangat

Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif

CP Erlin 0821 4413 9098

Komentar Anda