Headline Siaran Pers

Siaran Pers : Melihat Polemik Kepabeanan secara Proporsional

Center for Indonesia Taxation Analysis
Siaran Pers
“Melihat Polemik Kepabeanan secara Proporsional”
Jakarta, 7 Mei 2024
(unduh pdf)

Otoritas kepabeanan bak berada di kursi pesakitan. Dua pekan terakhir publik ramai-ramai menghakimi Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) karena dianggap menyulitkan masyarakat yang bepergian keluar-masuk negara. Prosedur ekspor-impor serta aturan mengenai barang bawaan, barang kiriman, atau barang hibah turut mendapat sorotan tajam setelah tiga kasus terkait Bea Cukai viral.

Mulai dari penerapan denda yang lebih besar dari nilai barang dalam kasus sepatu impor, terjadinya keterlambatan penerimaan dan kerusakan sebuah mainan action figure milik influencer Medy Renaldy, serta alat bantu belajar tunanetra berstatus hibah untuk SLB-A Tingkat Nasional yang tertahan selama dua tahun di Bea Cukai.

Beragam isu ini memicu tumbuhnya sentimen negatif yang lebih besar terhadap Bea Cukai. Padahal citra otoritas kepabeanan belum sepenuhnya pulih setelah Eko Darmanto (ED) dan Andhi Pramono (AP) ditahan dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Atas hal tersebut, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memberikan pandangan sebagai berikut,

• Kami melihat kritik publik terhadap otoritas kepabeanan sebagian besar dapat diterima. Kritik diperlukan untuk membangun birokrasi yang lebih baik. Namun, kritik publik juga harus proporsional. Otoritas kepabeanan memiliki peran besar dalam ekonomi terkait arus barang antar yurisdiksi. Terlalu besar untuk dibekukan atau bahkan dibubarkan. Publik salah jika melihat otoritas kepabeanan hanya sebagai (1) revenue collector yakni mengoptimalkan penerimaan negara.

• Ada tiga fungsi utama lain otoritas kepabeanan, yakni (2) sebagai trade facilitator, ditujukan untuk menekan biaya tinggi (high cost) dari perdagangan internasional sehingga kita punya daya saing ekonomi, dan (3) industrial assistance, berupa dukungan bagi industri dalam negeri agar dapat bersaing di pasar internasional. Contohnya kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), yang membebaskan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) bagi usaha yang berbasiskan ekspor, dan (4) community protector, memberikan perlindungan masyarakat terhadap barang-barang yang dilarang seperti narkoba. Betul, otoritas kepabeananlah yang mencegah masuknya narkoba dan barang terlarang lain ke Indonesia.

• Semenjak era perdagangan bebas, penerimaan kepabeanan tidak lagi menjadi sumber penerimaan utama dari DJBC. Apabila merujuk pada APBN 2024, kontribusi penerimaan kepabeanan dalam perpajakan hanya 3,24%. Bagi DJBC sendiri, kontribusi penerimaan kepabeanan hanya 23,34% sedangkan sisanya penerimaan
cukai.

• Masalah utama dalam keriuhan beberapa minggu terakhir adalah kepercayaan publik. Kemenkeu perlu sadar jika membangun kepercayaan publik tidak seperti membalikkan telapak tangan. Butuh proses dan waktu yang panjang.

Membangun kepercayaan publik tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi publik tapi lebih dari itu, perlu perubahan nyata. Membangun kepercayaan publik perlu dirasakan oleh masyarakat melalui perbaikan pelayanan. Membangun kepercayaan publik perlu dilakukan melalui peningkatan pengawasan internal agar tidak ada oknum-oknum yang nakal. Membangun kepercayaan publik dilakukan melalui perbaikan birokrasi dan administrasi agar mencegah adanya penyelewengan.

• Betul, dalam hukum terdapat adagium Ignorantia juris non excusat yang artinya ketidaktahuan akan hukum tidak membenarkan siapa pun. Namun otoritas wajib melakukan sosialisas.

(1) Para petugas di lapangan perlu memberikan informasi yang lengkap mengetahui ketentuan yang berlaku. Perlu proaktif dalam memberikan informasi terkait persyaratan. Intinya, perlu perbaikan dalam memberikan pelayanan, terutama perlu lebih informatif. Terlebih, akan banyak masyarakat umum yang melakukan impor barang kiriman sebagai dampak dari digitalisasi.

(2) Perlu evaluasi regulasi atau kebijakan. Perlu kemudahan regulasi terutama regulasi yang mengatur terkait persyaratan. Salah satu kasus yang ramai di publik terkait persyaratan fasilitas. Begitu pula dengan ketentuan terkait larangan terbatas (Lartas). Perlu juga untuk melakukan benchmarking best practice.

(3) Masih terkait kebijakan, perlu evaluasi besaran bea masuk dan sanksi. Keriuhan publik terjadi karena besaran kepabeanan dan sanksi atas PDRI yang ditanggung oleh masyarakat tidak sebanding dengan nilai impor. Terkait sanksi, perlu mengubah paradigma bahwa sanksi yang besar akan membuat orang patuh. Kedua, perlu mengevaluasi tarif terkait PDRI terutama besaran tarif PPh 22 Impor yang naik drastis dalam satu dekade terakhir serta tarif bea masuk atas beberapa produk yang naik dalam beberapa waktu terakhir.

• Terakhir, pentingnya koordinasi antar Kementerian dan Lembaga. Ketentuan barang kiriman tidak hanya menjadi ranah dari otoritas kepabeanan namun juga Kementerian dan Lembaga (K/L) seperti Kementerian Perdagangan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI. Untuk itu, dalam evaluasi regulasi perlu melibatkan K/L Lainnya serta dalam melakukan sosialisasi. Agar tidak semua beban sosialisasi menjadi beban dari otoritas kepabeanan terlebih bukan kebijakan
Kemenkeu.

Demikian siaran pers ini disebarluaskan sebagai bagian literasi perpajakan bagi masyarakat luas. Atas kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Fajry Akbar
Head of Research
Website : www.cita.or.id
E-Mail : contact@cita.or.id
Twitter : @CITA_Research
Instagram : @cita_risetfiskal

Komentar Anda