CITAX

2019 Alami Shortfall Pajak Terbesar dalam 5 Tahun Terakhir

JAKARTA, investor.id – Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memperkirakan, realisasi penerimaan pajak sepanjang 2019 sebesar Rp 1.319 triliun (83,65%) atau masih ada kekurangan (shortfall) sebesar Rp 258 triliun dari target APBN 2019 yang dipatok sebesar Rp 1.577,6 triliun.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, penerimaan pajak tahun lalu secara nominal merupakan shortfall terbesar selama kurun waktu lima tahun terakhir, namun demikian jika berdasarkan persentase bukan yang terendah.

Ia mengatakan, dengan tidak tercapai target tahun lalu, maka diperlukan langkah untuk menggenjot penerimaan pajak pada 2020.”Pekerjaan rumahnya adalah dengan realisasi tahun lalu sebesar 83,6% dengan pertumbuhhan penerimaan pajak kurang dari 1%, kita butuh 23% untuk tahun ini,” kata dia saat ditemui di Jakarta, Senin (6/1).

Yustinus mengatakan, penerimaan pajak yang tidak tercapai pada tahun lalu disebabkan turunnya harga komoditas, seperti penerimaan pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas) serta PPh pertambangan. “Kedua, impor turun, maka pajak dalam rangka impor turun semua. Jika impor turun maka output dalam negeri juga pasti turun dan menekan PPN dalam negeri,” tutur dia.

Dengan asumsi penerimaan pajak tahun lalu yang hanya mencapai 83,65% dari target maka pemerintah harus menambah sekitar 23% sesuai proyeksi akhir 2020, sebab penerimaan pajak tahun lalu hanya tumbuh 1%.

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah harus lebih realistis  mematok target pajak tahun ini. Pasalnya, kondisi ekonomi global tahun ini cenderung mengalami perlambatan, sehingga tidak akan mudah.

Adapun tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan pajak  sebesar Rp 1.642,57 triliun atau naik 4,12% dari target 2019 senilai Rp 1.577,6 triliun.”Kondisi ekonomi kemungkinan stagnan, global juga masih menekan. Mau tidak mau revisi targetlah untuk 2020,” ucap dia.

Menurutnya, ekonomi digital bisa menjadi pendorong penerimaan pajak tahun ini. Sedangkan dampak omnibus law perpajakan diperkirakan baru terjadi pada 2021. Menurutnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus lebih memanfaatkan data automatic exchange dan melakukan pengawasan ke level bawah.

“Kan kerja sama kelembagaan kalau dijalankan bersama, bisa efektif. Banyak data kedepan yang perlu dimanfaatkan dan penyisiran harus dilakukan,”  ujar dia.

Selama ini yang kurang terintegrasi itu sisi daerah padahal yang memiliki data registrasi itu daerah, sehingga akan sulit mendapatkan penerimaan pajak yang optimal.

Untuk nominal ideal target pajak tahun ini, ia enggan menjelaskannya tetapi dapat dihitung dari pertumbuhan dan realisasinya pada tahun sebelumnya.

“Kalau kemarin kan hitungnya realisasi tahun sebelumnya ke target mendatang. Idealnya realisasi 10%, jadi tidak akan nambah banyak untuk mencapai penerimaan pajak di tahun mendatang, meski begitu ada risiko belanja akan tertekan tapi ya nggak apa-apa, efisiensi aja,” tukas dia.

Sumber: investor.id, 7 Januari 2020

Komentar Anda