Target pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk menggenjot tax ratio atau rasio perpajakan sebesar 23% dari Produk Domestik Bruto dinilai berat. Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar mengatakan strategi ekstensifikasi memang bisa dilakukan, namun belum cukup mengerek tax ratio secara signifikan apabila pekerja Indonesia masih miskin.
“Strategi ekstensifikasi baik dan tepat. Tapi tidak akan mengerek tax ratio kita secara signifikan kalau sebagian besar penduduk kita masih berpendapatan rendah,” kata Fajry saat dihubungi, Rabu (27/12/2023).
Dia mengatakan berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik sebagian besar angkatan kerja di Indonesia masih berpendapatan di bawah Rp 54 juta per tahun. Itu artinya mereka masuk golongan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dia mengatakan kecilnya pekerja yang masuk golongan PTKP itu dapat juga terlihat dari data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Dia mengatakan dari 147 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, hanya 13,8 juta yang wajib lapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
“Dapat diartikan secara kasar kalau jumlah orang yang berpendapatan di atas PTKP hanya 8,84% dari angkatan kerja,” kata dia.
Sebelumnya, target rasio perpajakan pasangan Prabowo-Gibran mengemuka dalam sesi debat cawapres yang dihelat Jumat (22/12/2023). Mulanya, cawapres nomor urut 3, Mahfud Md menyebut bahwa target tax ratio 23% dari PDB yang dipatok Prabowo-Gibran tidak masuk akal.
Menjawab Mahfud, Gibran mengatakan dirinya dan Prabowo tidak akan menggunakan strategi lama dalam menaikkan rasio perpajakan di Indonesia. “Kita ini tidak ingin berburu di dalam kebun binatang. Kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami binatangnya, kita gemukkan,” kata Gibran.
Untuk memperluas kebun binatang itu, Gibran mengatakan akan memperbanyak pembukaan dunia usaha. Dengan demikian, dia berharap jumlah Wajib Pajak juga ikut bertambah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic Mohammad Faisal menilai target yang dipasang Prabowo-Gibran soal rasio perpajakan hampir tidak mungkin dengan masa kekuasaan hanya 5 tahun. Bila dipaksakan, dirinya khawatir justru pemerintah akan mengganggu dunia usaha.
“Kalau mau dipaksakan justru khawatir seperti jadinya ngejar-ngejar, ide Gibran mengembangkan pelaku usaha terlebih dahulu lalu dikenai pajak jadi agak kontradiktif,” kata dia.
“Kita perlu hati-hati menaruh target yang tinggi, bukan berarti tidak bagus, tapi apakah itu kemudian realistis dan efek sampingnya kalau dipaksakan malah bisa backfire pada perekonomian dan pelaku usaha,” kata dia melanjutkan.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan meningkatkan rasio perpajakan sebenarnya mudah. Dia menjelaskan rumus dasar rasio perpajakan adalah penerimaan pajak dibagi dengan Produk Domestik Bruto.
Menurut dia, selama ini komponen penghitungan penerimaan pajak di Indonesia hanyalah pajak yang diterima pemerintah pusat. Maka itu, kata dia, apabila rasio perpajakan ingin ditingkatkan maka tinggal menambah komponen lainnya dalam penerimaan pajak.
“Kalau mau ditambah jadi meningkat dua kali lipat tambahkan komponen pembilangnya. Konsep dasarnya penerimaan pajak bisa termasuk kontribusi wajib BPJS atau pajak pusatnya ditambah pajak daerah dan penerimaan sumber daya alam, kalau itu dimasukkan rasio pajak langsung loncat,” kata dia.
Meski demikian, Prianto sadar bahwa mengutak-atik rumus penghitungan rasio pajak itu tidak sama dengan menambah jumlah penerimaan negara. “Itu makanya, kalau ngomong soal rasio, kita pakai rumus yang mana,” kata dia.
Sumber: CNBC Indonesia, 27 Desember 2024 – https://www.cnbcindonesia.com/news/20231227200256-4-500733/target-rasio-pajak-23-ah-pikir-2-kali-deh-mas-gibran