CITA | 08 FEBRUARI 2016
Taxatio, Ecce Homo!Â
Kebenaran itu bak Minerva—burung yang datangnya di rembang petang – demikian GWF Hegel,filsuf masyur Jerman, menulis di Philosophy of Right (1820). Sejarah kerapkali merupakan prasasti sang pemenang dan karenanya kebenaran sejati terlambat datang. Demikian halnya dengan pajak. Ketika sebagian besar orang tak suka, maka ia disembunyikan di bawah palung kesadaran. Padahal sejarah mencatat pajak bukan sekadar administrasi dan teknik pemungutan. Pajak adalah kisah tentang peradaban manusia. Bahkan Joseph Schumpeter berani menyimpulkan bahwa guntur peradaban dapat disingkap dari sejarah perpajakan. Tugas suci hari-hari ini adalah mengiris sejarah kuno hingga pertengahan untuk menimba inspirasi. Tugas yang diemban Janus – dewa bermuka dua dalam mitologi Romawi– yang menatap masa depan seraya awas melihat masa lalu.
Dari Babilonia hingga Romawi
Charles Adams dalam Fight Flight Fraud: The Story of Taxation (1982) mencatat bahwa sejarah pajak setidaknya dapat dilacak sejak 6000 SM, ketika Urukagina berkuasa di Babilonia. Saat itu muncul slogan “Kamu boleh punya Tuhan, kamu boleh punya Raja, tapi manusia takut pada Petugas Pajakâ€. Ia adalah raja yang baik karena meniadakan pemungut pajak, tetapi sejak itulah Babilonia jatuh ke tangan musuh. Kemudian Mesir mempraktikkan sistem administrasi pajak yang rapi. Mereka mengenal pencatatan, petugas pemungut, penetapan pajak, dan keberatan di pengadilan. Dari prasasti purba Rosetta Stone terekam jejak peradaban tinggi Mesir: bagaimana, siapa, dan apa yang dipajaki. Di sini pula tercatat tax amnesty yang diberikan Ptolemus V.
Mesir kuno boleh jadi merupakan bayang-bayang bagi administrasi pajak modern. Rostovtzeff—ahli sejarah Mesir- menilai kemunduran Mesir dikarenakan perilaku birokrasi pajak yang memungut pajak terlalu tinggi dan korup sehingga memicu penghindaran pajak. Di aras lain sejarah Israel kuno juga mencatat kisah agung. Istilah ‘tithe’ sebagai asal usul istilah ‘tax’ muncul pertama kali. Tithe adalah pajak bagi imam di rumah ibadah dan kaum miskin. Dalam “tithe†ini, dimensi vertikal-horizontal, hablumminallah-hablumminannas, sakral-profan – memperoleh makna hakiki untuk pertama kalinya. Israel juga merayakan pesta keagamaan Hanukkah sebagai kenangan pemberontakan pajak terhadap penguasa Mesir.
Sejarah mencatat kecerdasan Yunani membangun sistem perpajakan. Para pemikir Yunani kuno mencoba keluar dari sistem tiran dengan menciptakan sistem pajak yang adil. Penghargaan pada hak milik pribadi sebagai basis kebebasan adalah prestasi Yunani—demikian sejarawan Gustav Gotz menulis. Pajak tidak dikenakan secara langsung kepada individu tetapi pada transaksi perdagangan. Ini adalah cikal bakal mazhab pajak tak langsung – yang kelak dikembangkan Jean-Baptiste Colbert di era Raja Louis XIV di Perancis.
Yunani memungut pajak tanpa birokrasi, melainkan melalui mekanisme religius yang disebut liturgy. Kebutuhan akan fasilitas publik dibicarakan bersama dan beban ditanggung secara proporsional. Pengemplang pajak didenda hingga sepuluh kali. Plutarchus dalam The Life of Aristides mencatat Aristides sebagai Bapak Keadilan Pajak. Ia tidak saja menetapkan pajak dengan penuh integritas dan adil tetapi juga melalui cara yang membuat senang semua pihak. Hingga akhirnya Perang Peloponnesia mengakhiri kejayaan sistem perpajakan Yunani. Kebutuhan uang untuk perang mendorong pemungutan pajak yang masif. Publicani—istilah untuk petugas pajak zaman itu, tak terhindarkan melakukan pemerasan terhadap warga.
Babak akhir sejarah perpajakan kuno dicatat Romawi. Fase awal Romawi ditandai pemungutan cukai untuk membiayai perang. Romawi menemukan klasifikasi tarif pajak: progresif, proporsional, dan regresif. Pilar pemungutan pajak adalah publicani, yang secara khusus ditujukan ke wilayah jajahan. Sejarah mencatat Augustus adalah ahli strategi pajak terbaik sepanjang masa. Ia mengambil alih kontrol terhadap manajemen uang pajak, melakukan desentralisasi kewenangan pemungutan, dan pembagian yang lebih adil. Hingga akhirnya Romawi runtuh karena terpaksa menaikkan pajak. Walter Goffart dalam Caput and Colonate (1974) berpendapat kejatuhan Imperium Romawi akibat penghindaran pajak yang masif. Romawi adalah pengulangan paripurna Mesir dan Yunani.
Kehadiran Islam juga meramaikan perebutan wilayah di kawasan Asia Kecil dan Eropa, dan menorehkan sejarah pajak. Berbeda dengan bias yang selama ini dipahami, kehadiran Islam di wilayah Romawi disambut hangat sebagai bentuk pembebasan rakyat dari penindasan pajak. Pemimpin Islam pandai mengambil hati rakyat dengan mengurangi jenis pajak, menurunkan tarif dan membebaskan yang tak mampu. Pencapaian brilian Islam—terutama di era Khalifah Ummayah—adalah menggunakan kebijakan pajak sebagai sarana konversi. Sistem pajak Islam yang lebih adil mendorong non-Muslim untuk berpindah memeluk Islam tanpa paksaan. Ini sekaligus merehabilitasi tuduhan bahwa Islam melebarkan pengaruh dengan pedang dan ancaman. Kisah Khalifah Ummayah ini sekali lagi menabalkan betapa vitalnya pajak dalam sejarah peradaban.
Keutamaan Modern: Berguru pada Masa Lalu
Sejarah pajak di gerbang modernitas sesungguhnya tak jauh dari apa yang terjadi pada masa sebelumnya. Jatuh bangun sebuah pemerintahan dan kekuasaan dapat dilacak dari kebijakan dan praktik perpajakan. Bertahannya Kerajaan Andalusia, jatuhnya Napoleon, bangkitnya perlawanan koloni Inggris di Amerika yang melahirkan Revolusi Amerika, meletusnya Revolusi Prancis, ambruknya kejayaan ekonomi Belanda, penyiksaan bangsa Yahudi, hingga pedebatan abadi di Amerika Serikat tentang tarif pajak.
Menurut Alvin Rabushka—pakar perpajakan dari Stanford University—ada empat hal penting untuk dicatat. Pertama, eksistensi sebuah pemerintahan sangat erat terkait dengan kebijakan perpajakan yang diambil. Kedua, sistem perpajakan yang baik akan mudah berubah menjadi buruk kecuali warga negara berhasil mengontrol belanja pemerintah. Ketiga, peradaban seringkali dihancurkan oleh kebijakan perpajakan yang eksesif, dan keempat moderasi menjadi prinsip penting dalam merancang dan mengimplementasikan sistem perpajakan. Ini mencakup penentuan tarif pajak, sanksi, cara pemungutan, dan perlakuan yang baik terhadap pembayar pajak.
Jika berguru pada masa lalu adalah sikap bijaksana untuk menemukan kebenaran hakiki, sudikan kita melakukannya? Sejarah mencatat pemungutan pajak mudah jatuh dalam pemerasan dan kesewenangan atas nama negara. Pajak mudah berubah menjadi palak, taxation menjadi exaction (pemerasan). Pajak adalah hasil tawar-menawar dengan warga negara dalam kedudukan yang setara, bebas paksaan. Meski pajak tak akan sepenuhnya menjadi voluntary melainkan quasi-voluntary (Brautigam:2008).
Sudah sewajarnya pemerintah Indonesia merancang sistem perpajakan yang adil dan partisipatif-demokratis. Kita tak ingin aparatur pajak menjadi publicani yang keji dan dibenci, kita juga tak menghendaki Indonesia runtuh seperti Romawi dan Babilonia karena penghindaran pajak oleh para pengemplang. Barangkali kita ingin seperti Yunani: hak dan kebebasan warga dihormati, birokrasi diperamping, dan penggunaan uang pajak dibicarakan dengan rakyat. Namun kita butuh pimpinan Otoritas Pajak seperti Urukagina, Ptolemus V, Aristides, Augustus, dan Kalifah Ummayah?
Jika politik adalah seni menciptakan aneka solusi yang mungkin, bukankah pokok persoalannya adakah kemauan? Jangan sampai menunggu Minerva datang, ketika semuanya terlambat dan penyesalan itu sia-sia belaka. Selarik ayat di Kitab Mahabarata mewartakan itu dengan bernas, bahwa pungutan  ibarat seekor kumbang menghisap madu dari setangkai kembang, tanpa si kembang merasa kesakitan. Jika memang “tak ada yang baru di bawah matahariâ€, maka kesediaan belajar dari masa lalu merupakan keutamaan. Dan Indonesia memiliki jejak-jejak sejarah agung yang dapat dijadikan kiblat, terutama ketika 1983 kita memulai tonggak Reformasi Perpajakan. Dari sana kita bermula dan ke sanalah kita menimba. Taxatio, ecce homo! Melalui pajak, lihatlah peradaban manusia.
Yustinus Prastowo