CITAX Headline

Cukai Rokok Tak Naik, Potensi Rp 15,8 Triliun Ditaksir Hilang

TEMPO.CO, JAKARTA – Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan keputusan pemerintah yang tak menaikkan pungutan cukai rokok di tahun 2019 sudah final. Dia mengatakan jajarannya harus siap mengejar target penerimaan cukai yang dipatok Rp 165 triliun tahun depan. “Saya cuma bisa komentar, Bea Cukai akan mendukung keputusan tersebut dari level teknis dan operasional,” kata Heru di Jakarta, Senin 5 November 2018.

Keputusan tak menaikkan cukai rokok dilontarkan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani akhir pekan lalu di Istana Kepresidenan Bogor. Padahal sejak awal era kepresidenan Joko Widodo 2015, cukai rokok selalu dinaikkan 10-15 persen setiap tahun. Sri Mulyani mengatakan keputusan ini diambil berdasarkan evaluasi dari seluruh masukan dari sidang kabinet.

Heru mengatakan meski tak ada kenaikkan, ditjen Bea Cukai tetap optimistis target bakal tercapai. Kepatuhan dari penindakan pelanggaran bakal ditingkatkan pengawasannya.

Pun berbagai perluasan penerimaan seperti cukai plastik yang diprediksi berlaku tahun depan dengan potensi sekitar Rp 5 triliun bisa menutup kekurangan dari kenaikkan cukai rokok. “Pengetatan seribu barang konsumsi sebenarnya juga bakal meningkatkan penerimaan kami lo,” kata Heru yang enggan memberikan angka kenaikkannya.

Per Oktober 2018, penerimaan cukai secara total mencapai Rp 105,9 triliun. Realisasi tersebut setara dengan 68,16 persen dari target Rp 155,4 triliun. “Jangan dibilang kok baru segini ya, Desember nanti penerimaan cukai bakal melonjak tiga kali lipat dari bulan biasa,” kata Heru.

Ketua Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia(GAPPRI) Ismanu Soemiran tak menampik asosiasi melobi pemerintah untuk menahan kenaikan cukai rokok. Asosiasi, katanya, mengirim surat permohonan kepada Kementerian Keuangan dan Presiden secara resmi 23 April dan 22 Oktober lalu. “Tahun lalu, tahun ini, dan tahun depan produksi bisa turun karena ekonomi sedang lesu,” katanya.

Seperti yang diketahui, industri rokok merupakan industri padat karya. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri ini menyerap 6,1 juta tenaga kerja. Di satu sisi stabilisasi rokok merupakan komponen terpenting nomor dua setelah beras dalam penghitungan angka kemiskinan masyarakat.|

Pemerintah pun, mengandalkan uang hasil pungutan cukai rokok untuk membekingi keuangan Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan BPJS yang tekor mengobati pasien penyakit yang disebabkan rokok seperti Jantung dan kanker sebesar Rp 8,78 triliun.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan cukai rokok statis untuk tahun depan tak mempertimbangkan unsur politik sama sekali. Stabilisasi industri rokok, katanya, juga memberikan efek domino positif di pada industri lain. “Efeknya positif kok, pasar saham naik, rupiah juga menguat,” kata Airlangga.

Dalam perdagangan saham kemarin, saham dua perusahaan rokok yang melantai di pasar saham Indonesia, Bursa Efek Indonesia cukup moncer. Saham PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) masing-masing naik 2,89% dan 3,67%. Rapor tersebut menjadi salah satu pendorong utama penguatan Indeks Harga Saham Gabungan yang menguat 0, 24 persen menjadi 5.920,59.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan sulit bagi pemerintah mengeluarkan persepsi politis dalam keputusan cukai rokok di masyarakat di tengah musim kampanye seperti ini. Menurut dia, kebijakan tersebut bisa menghilangkan potensi penerimaan sebesar Rp 15,8 triliun. “Tekanan penerimaan pasti ada, soalnya ekstensifikasi kan belum jadi-jadi sampai sekarang,” katanya.

Sumber: TEMPO.CO, 6 November 2018

Komentar Anda