TAJUK

Lihatlah, Ibumu! Kebijakan Pajak terhadap Perempuan

CITA | 28 JANUARI 2016

Lihatlah, Ibumu! Kebijakan Pajak terhadap Perempuan
oleh YUSTINUS PRASTOWO
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)

Menjelang musim penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi, wacana tentang perlakuan pajak bagi wanita kawin yang memilih ber-NPWP sendiri kembali hangat diperbincangkan. Tiap kali  isu ketidakadilan diangkat, dan aneka kerumitan administrasi hingga ketakmasukakalan peraturan pajak terkait ini digugat. Rupanya ada ikhwal  lebih mendasar yang bersemayam di balik pengaturan ini, yakni kegagalan pembuat kebijakan membentangkan nalar dan rasa pada samudera pemikiran yang dinamis, bergerak, dan berdialog dengan pelaku zaman. Kebijakan pajak terhadap perempuan merupakan contoh terbaik betapa netralitas merupakan sebuah kesewenang-wenangan.

Teknikalitas pengaturan wanita kawin dalam sistem perpajakan kira-kira dapat diringkas demikian. UU Pajak Penghasilan (PPh) secara klasik menganut prinsip unitas personae atau family unit yaitu keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis dengan laki-laki sebagai kepala keluarga. Konsekuensinya penghasilan maupun kerugian wanita kawin menjadi penghasilan maupun kerugian suami (marital aggregation), kecuali yang diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajaknya. Dengan demikian istri yang menjadi karyawati tinggal melaporkan bukti pemotongan pajaknya di SPT suami. Sesederhana itu.

Kerumitan mulai muncul ketika UU PPh juga mengakui praktik sosio-kultural dan realitas sosial yang sudah lazim seperti perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan suami-istri yang hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim. Pengaturan penghitungan dibuat agar selaras dengan norma unitas personae dan prinsip keadilan. Maka istri yang hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim diperlakukan sebagai individu dengan model penghitungan dan pelaporan income splitting atau murni menghitung dan melapor sendiri kewajiban pajaknya (separation without progression), sedangkan bagi istri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, penghitungan pajak dilakukan melalui penggabungan dengan penghasilan suami (separation with progression).

Persoalan berikutnya muncul ketika seorang istri yang juga karyawati dan memiliki NPWP sendiri ingin melaksanakan kewajiban perpajakannya. UU PPh ternyata membuat norma bahwa wanita kawin yang memilih ber-NPWP dan menghendaki melaksanakan kewajiban pajak sendiri serta merta diperlakukan separation with progression, yaitu penghasilan netonya digabung dengan penghasilan suami dan masing-masing menanggung beban pajak secara proporsional. Ketidakadilan serta merta terjadi: bagaimana dengan istri sebagai karyawati yang ber-NPWP sendiri dan penghasilannya sudah dipotong oleh pemberi kerja? Ketentuan perpajakan tidak membedakannya sehingga risiko dan konsekuensinya istri cum karyawati yang ber-NPWP sendiri harus menanggung beban pajak yang lebih besar ketimbang yang NPWP-nya ikut suami. Jelas sekali prinsip keadilan horisontal yang menjadi dasar sistem perpajakan tercederai.

Jika demikian halnya, apa kira-kira akar penyebabnya? Kita dapat menerka, ini dikarenakan spirit perubahan mendasar yang ditiupkan UU No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak secara utuh ditangkap perumus UU PPh. Adalah Sri Mulyani, menteri keuangan perempuan, yang melontarkan gagasan untuk membuka kemungkinan wanita kawin ber-NPWP sendiri, sehingga dapat menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakan sendiri. Tentu saja ini di luar kondisi bercerai atau pisah harta. Motif SMI jelas, bahwa ia hendak mendorong kesetaraan gender dan menghormati perempuan pekerja. Hal yang progresif dan mulia ini diakui dalam penjelasan Pasal 2 UU KUP, bahwa wanita kawin selain yang hidup berpisah atau pisah harta dan penghasilan dapat memiliki NPWP sendiri, terpisah dari suaminya, dan dapat menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri. Hal ini merupakan prinsip baru di UU KUP yang jika dirunut akar sejarahnya bermula dari perdebatan tentang unit pemajakan (taxing unit), apakah di tingkat keluarga (family unit) atau tingkat individu (individual unit). Perubahan unit pemajakan berpengaruh pada model pelaporan, apakah join filing (istri melaporkan dalam SPT suami) atau marital aggregation, ataukah income splitting (istri melaporkan sendiri penghasilannya). Dan suka tidak suka, akar sejarah ini adalah perjuangan kesetaraan gender. Pula kita maklum bahwa perkara gender itu bukan soal jenis kelamin melainkan konstruksi sosial tertentu yang menyebabkan ketidakadilan. Justru di sinilah kebijakan pajak penting untuk mentransformasikan praktik dan aturan tradisional yang bias-gender agar tidak diskriminatif, bukan justru melestarikannya. Diane Elson dan Janet Stotsky, dua feminis terkemuka, menyatakan bahwa pembongkaran narasi besar ini merupakan proyek peradaban. Pembedaan laki-laki dan perempuan diperbolehkan jika itu bertujuan menciptakan keadian substansial.

Ternyata spirit perubahan di UU KUP tidak sepenuhnya ditangkap sebagai basis filosofis dan kesadaran baru tetapi diperlakukan sebagai persoalan teknis-administratif belaka. Sebagai akibatnya, redaksional Pasal 8 UU PPh dan aturan turunanya justru bertentangan dengan spirit kesadaran dan kesetaraan gender. Hal ini tentu saja dimaklumi menilik sejarah panjang yang terpatri dalam kesadaran misoginis, yakni subordinasi perempuan dan anak terhadap laki-laki. Bahkan sejak Mesopotamia, Sumeria, dan Romawi. Warisan hukum Romawi yang teguh pada konsep keluarga sebagai satu kesatuan (unitas personae) merasuk dan meresapi sejarah, melintasi waktu dan mengukuhkan dominasi ini hingga tahun 1960-an, ketika gerakan feminisme menguat. Sejak itulah konsep income splitting mulai diakui dan diterapkan beberapa negara, dan penghormatan pada perempuan meningkat pesat. Inggris akhirnya memberikan perlakuan setara bagi perempuan bekerja untuk mendapatkan tunjangan Working Family Tax Credit atau Singapura yang memberlakukan Working Mother Child Relief (WMCR), tambahan tunjangan bagi istri bekerja karena harus kehilangan kemewahan mengasuh anak dan membayar baby sitter.

Saya kira jantung perkaranya jelas dan jalan keluarnya pun pasti. Perubahan orientasi konseptual-filosofis tak boleh takluk pada kerumitan teknis-administratif. Apa yang telah diawali dengan baik oleh UU KUP seyogianya dilanjutkan. Maka mengubah rumusan Pasal 8 UU PPh agar selaras dengan visi transformasi mutlak harus dilakukan, dan Pemerintah tak boleh ragu untuk mencabut aturan yang tidak selaras dan mengeluarkan aturan baru yang lebih baik. Ruang itu sebenarnya disediakan UU PPh ketika tak mengatur secara detail perlakukan pajak terhadap istri cum karyawati yang ber-NPWP sendiri. Kita pun terlampau mundur untuk urusan kesetaraan. Perempuan Indonesia sebagai breadwinner (tulang punggung keluarga) bahkan harus dipermalukan untuk dapat mengurangkan PTKP suami yang tidak bekerja, yakni minta keterangan dari camat.

Seyogianya hal-hal seperti ini segera diakhiri. Ini adalah momentum terbaik untuk membangun kesadaran dan kepercayaan antara otoritas pajak dan warganegara sebagai wajib pajak. Perempuan adalah Ibu Pertiwi, rahim seluruh anak bangsa, yang kepadanya kita menimba air kehidupan dan menjejak tanah pergumulan. Atas nama netralitas dan administrasi, aneka penyederhanaan berpotensi menjadi kesewenang-wenangan. Kita percaya bangsa ini sedang meniti ke jalan perubahan, maka mendialogkan pemikiran dan bergandengan tangan adalah cara terbaik menggapai masa depan, bersama seluruh anak bangsa, menghadirkan keadilan berparas perempuan. Lihatlah, Ibumu!

Komentar Anda