MERDEKA.COM | 11 Oktober 2016
Merdeka.com -Â Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang telekomunikasi yang disusun secara tidak transparan dan ditujukan tidak untuk pemerkuat kepentingan nasional, maka berpotensi membuat negara buntung dari sisi penerimaan negara.
Rencana revisi PP yang dimaksud adalah No 52/2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP No. 53/ 2000 tentang penggunaan spektrum radio dan orbit satelit, ditunda. Rencana revisi kedua PP itu dianggap banyak prosedur yang tidak memenuhi UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
“Kompetisi yang tidak sehat dan tidak fair akan memacu perang harga sehingga menurunkan penjualan dan laba bersih yang berdampak pada turunnya kontribusi PPN, PPh, dan PNBP,” jelas dia dalam sebuah diskusi terkait PP telekomunikasi di Jakarta, Senin (11/10).
Dalam hitung-hitungannya, estimasi terjadinya potential lost atas revenue industri bisa mencapai sebesar Rp 14 triliun jika benar-benar ada perang tarif. Lebih detail, terjadi juga penurunan kontribusi PNBP yang diperkirakan sebesar Rp 245 miliar. Selain itu, akan terjadi penurunan penerimaan PPN sebesar Rp 1,4 triliun dan PPh Badan sebesar Rp 559 miliar.
“Hal ini juga akan berdampak pada turunnya daya saing perusahaan yang dipaksa berbagi, menurunkan dividen sebagai bagian keuntungan pemerintah,” katanya.
“Dampak lain mungkin terjadi adalah multiplier effect karena turunnya CAPEX dan OPEX yang berakibat pada berkurangnya kue ekonomi bagi industri pendukung telekomunikasi,” imbuh dia.
Selain itu, frekuensi sharing juga akan menyebabkan monetisasi frekuensi di secondary market dan mengakibatkan efek ganda turunnya PNBP.
Dikatakan oleh anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih, ada enam potensi maladministrasi atau cacat prosedur. Enam potensi yang dimaksud adalah: pengabaian partisipasi publik, pelayanan yang diskriminatif, menutup informasi tanpa mempertimbangkan kepentingan publik, merugikan keuangan negara, pengabaian terhadap kecenderungan praktik pemegang lisensi broker, dan terakhir, perlakuan istimewa terhadap operator.
Komentar Anda