Riset

Potensi Disinsentif Fiskal Dalam Proses Bisnis Hulu Migas

Untuk meningkatkan aktivitas hulu migas, Indonesia harus segera menarik investasi dengan cara yang masif. Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya progresif yang dapat menstimulasi aliran investasi ke industri sektor hulu migas. Salah satunya, dengan memberlakukan instrumen fiskal yang kompetitif. Pembatasan cost recovery dan pengenaan pajak tidak langsung dipandang sebagai faktor yang paling berdampak negatif pada keputusan investasi. Tax instrument seharusnya memberikan kepastian hukum, mendukung iklim investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas, konsisten dan stabil, melalui administrasi yang sederhana, mudah dilaksanakan dan murah (cost of compliance yang efisien).

Keberadaan PP No. 79/2010 pada praktiknya telah menjadi salah satu unsur disinsentif bagi industri hulu migas. Pengenaan pajak tidak langsung yang eksesif (terutama PBB), walaupun dapat dikembalikan, serta pengetatan cost recovery akan menimbulkan cost of taxation yang tinggi. Intervensi PP No. 79/2010 terhadap kontrak PSC yang telah ada menimbulkan situasi ketidakstabilan dan ketidakpastian hukum yang secara psikologis mempengaruhi masuknya investasi baru. Peniadaan ketentuan assume and discharge, pemberlakuan pajak tidak langsung sebagai komponen cost recovery, penambahan jenis non-recoverable expenses, dan kebijakan pemeriksaan pajak menjadi permasalahan utama. Ketentuan dan aktivitas tersebut menambah ruwetnya masalah pajak yang dihadapi Kontraktor, mengingat masalah pajak klasik lainnya yang belum mendapatkan solusi permanen. Sampai saat ini, pengenaan PPN atas fasilitas bersama (facility sharing maupun cost sharing), sengketa penerapan P3B dalam pengenaan Branch Profit Tax (BPT), mekanisme reimbursement PPN, pengenaan pajak atas PCO/TSA, fasilitas bea masuk dan PDRI atas barang impor masih menjadi hambatan.

Komentar Anda