Opini

Pro Kontra Pajak Pulsa dalam Pemulihan Ekonomi Nasional

Oleh Annisa Delia Prasnama Shinta

Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan diterbitkannya aturan perpajakan baru tentang pajak pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Peraturan ini dikeluarkan pada 22 Januari 2021 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 6/PMK.03/2021 tentang Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Terbitnya peraturan ini, menimbulkan perbedaan pendapat antara masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat cenderung kurang setuju dengan adanya PMK baru ini sedangkan pemerintah merasa PMK ini diperlukan. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan klarifikasi kepada masyarakat terhadap pendapat bahwa terbitnya PMK ini dapat memberatkan masyarakat. Pemerintah menjelaskan bahwa tidak akan ada kenaikan harga untuk keempat barang tersebut karena sebenarnya sejak awal harga yang berlaku sudah dikenakan pajak dan telah diatur dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1988 tentang Pengenaan Pajak Jasa Penerbangan dan Jasa Telekomunikasi. PMK ini hanya menjelaskan mengenai mekanisme pembayaran dan pelaporan pajak. Meskipun sudah ada penjelasan dari pemerintah, masih ada beberapa masyarakat yang belum dapat menerima aturan ini. Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat antara masyarakat dengan pemerintah.

Pendapat dari Pemerintah

Peraturan Menteri Keuangan No. 6/PMK.03/2021 ini dibuat dengan tujuan untuk menciptakan kepastian hukum mengenai pemberlakuan PPN atas jasa telekomunikasi. Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan, menjelaskan bahwa pada peraturan lama PPN, dilakukan pemungutan pada setiap mata rantai termasuk untuk PPN atas pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Pada penerapan peraturan lama PPN, terdapat masalah yaitu untuk distributor menengah dan kecil atau eceran merasa keberatan untuk dipungut PPN karena secara administratif belum mampu untuk menjalankan kewajiban tersebut sehingga sering terjadi perselisihan antara wajib pajak dengan kantor pajak. Untuk itu, adanya peraturan baru ini bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut. Peraturan baru PPN ini, menyederhanakan pemungutan PPN terutama atas pulsa dan kartu perdana yang hanya dikenakan hingga distributor tingkat kedua, sedangkan distributor kecil dan konsumen tidak dikenakan PPN.

Selanjutnya, sejalan dengan tujuan pemerintah yaitu melakukan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021, PMK baru ini menurut Mohammad Faisal, Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia dapat menjadi strategi untuk optimalisasi penerimaan negara. PMK ini dibuat untuk memperjelas mengenai pemajakan terhadap pulsa, kartu perdana, token, dan voucer yang belum pernah diatur secara jelas sebelumnya. Ditambah, pada saat masa pandemi seperti ini, seluruh kegiatan dilakukan secara online dan tentunya akan banyak memanfaatkan jasa telekomunikasi yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, pemerintah melihat hal ini sebagai peluang optimalisasi penerimaan pajak terutama PPN di Indonesia untuk pemulihan ekonomi pada tahun ini.

Pendapat dari Masyarakat

Di sisi lain, terdapat pendapat masyarakat yang kurang sepakat dengan diterbitkannya kebijakan ini. Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance menilai bahwa adanya aturan baru ini dikatakan tidak dapat efektif membantu Pemulihan Ekonomi Nasional pada tahun 2021. Hal ini dikarenakan pada masa pandemi seperti saat ini, pemberian stimulus kepada masyarakat dan perusahaan akan lebih dibutuhkan. Sehingga penyederhanaan mekanisme aturan PPN saja tidak cukup untuk pemulihan ekonomi, namun sebaiknya harus diikuti dengan pemberian stimulus berupa keringanan tarif PPN atas jasa telekomunikasi. Mengingat, kebijakan work from home yang dibuat pemerintah mengharuskan masyarakat untuk menggunakan lebih banyak internet sehingga juga membutuhkan banyak pulsa atau kartu perdana. Harapannya dengan adanya keringanan tarif PPN, keuntungan dari PMK baru yang berlaku tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh distributor namun juga konsumen. Hal ini dikarenakan meskipun Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menjelaskan bahwa pemerintah hanya akan mengenakan PPN hingga pada distributor tingkat kedua (tidak sampai ke konsumen), namun menurut Bhima beban PPN 10% mungkin tidak hanya ditanggung oleh pihak penyelenggara tetapi juga tetap akan dibebankan kepada konsumen melalui harga pulsa karena tidak ada kendali pemerintah terhadap distributor. Sehingga dengan hanya adanya perubahan aturan adminstratif tidak cukup untuk memulihkan perekonomian apabila tidak diikuti dengan pemberian insentif tarif PPN.

Beberapa pendapat di atas menandakan dampak negatif dapat terjadi atas pemberlakuannya PMK ini, apabila sosialisasi dan edukasi tidak dilakukan dengan baik dan menyeluruh pada setiap lapisan masyarakat. Mengingat realisasi PMK yang dilakukan dalam waktu singkat. Sosialisasi dan edukasi diperlukan agar PMK ini dapat direalisasikan dengan semestinya dan tidak memberatkan masyarakat dengan tetap adanya praktik pembebanan PPN terutama dalam pulsa dan kartu perdana yang tidak sesuai dengan aturan tersebut. Selain itu, pemerintah dapat menghimbau kepada perusahaan jasa telekomunikasi untuk dapat melakukan transparansi harga sebelum dan sesudah pajak untuk menambah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah maupun perusahaan jasa telekomunkasi. Sehingga dalam jangka panjang, konsumsi masyarakat untuk jasa telekomunikasi dapat terus meningkat dan dapat meningkatkan pula kemajuan bisnis teknologi komunikasi di Indonesia. Dengan ini, peningkatan pendapatan negara juga dapat terdorong melalui PPN jasa telekomunikasi Indonesia.

Komentar Anda