CITAX

KEJAGUNG TAK BERWENANG USUT KASUS MOBILE 8

RMOL.COM | 11 JANUARI 2016

RMOL. Kejaksaan Agung diminta tidak gegabah dalam mengusut dugaan kasus pajak berkaitan dengan korporasi atau institusi bisnis. Dalam kasus seperti itu, Kejaksaan jangan terlalu mudah menerapkan pasal-pasal dalambeleid tindak pidana korupsi. Termasuk dalam kasus restitusi pajak PT Mobile 8 Telecome Tbk (Mobile 8).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, dalam kasus Mobile 8, Kejagung tidak memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Menurut Yustinus, ranah yang bisa ditangani jaksa berkaitan dengan tindak pidana korupsi, misalnya, yang dilakukan pegawai pajak. Namun dalam kasus restitusi pajak, pihak yang berwenang menyidik adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perpajakan.

“Jadi kasus seperti Mobile 8 tidak bisa dimasukkan dalam domain kasus korupsi, terang Yustinus kepada wartawn di Jakarta, Senin (11/1).

Kedua, masih kata dia, kalau pun masalah restitusi ini dikembalikan ke Direktorat Jenderal Pajak dan kemudian diduga ada indikasi pidana, maka proses penyidikannya pun bertahap. Sementara untuk restitusi pajak Mobile 8, Ditjen Pajak menilai sudah tidak ada masalah.

Dari dokumen yang diperoleh, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB) telah memeriksa komprehensif restitusi pajak yang diajukan Mobile 8. Hasil pemeriksaan itu dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKP-LB), Pajak Penghasilan yang diteken oleh Kepala KPP PMB.

Dalam SKP LB bernomor 00059/406/07/054/09 Tahun 2007 Tanggal Penerbitan 13 Maret 2009 ditetapkan jumlah PPh Mobile 8 yang lebih bayar senilai Rp 12.239.025.011.

Kemudian, Mobile-8 juga menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, 23, 4 ayat 2 dan 26 dengan jumlah Rp 1.490.868.666. Dengan demikian, pengembalian bersih atas lebih bayar tersebut sebesar Rp 10.748.156.345. Selain itu, Mobile-8 juga menerima SKP Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, dan 26 dengan jumlah Rp 10.373.785.873, sehingga tidak ada pengembalian atas lebih bayar tersebut.

Dua SKP itupun hingga 8 Januari 2016  tidak ada koreksi sehingga SKP-LB tersebut dianggap sudah benar adanya.

Berdasarkan Penjelasan pasal 8 ayat 1 (a) UU 28/2007 tentang perubahan ketiga UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, disebutkan jika dalam lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak tidak ada koreksi dari Direktorat Pajak, maka Surat Pemberitahuan Pajak dianggap benar.

Yustinus menjelaskan, jika ada kasus pidana dalam perpajakan, PPNS pun harus melakukan pemeriksaan awal lebih dulu. Semacam pengumpulan bukti awal dalam proses penyelidikan tindak pidana di kepolisian atau kejaksaan. Nah, seandainya ditemukan bukti permulaan yang cukup, pembayar pajak juga masih diberi kesempatan untuk membayar denda administrasi.

“Pajak kan prioritas di penerimaan negara, saya kira harus ditempatkan dahulu di Ditjen pajak,” tegasnya.

Berkaca di kasus pajak Asian Agri, kata Yustinus, Kejaksaan pun tidak melakukan penyelidikan maupun penyidikan dari tahap awal. Mereka hanya menerima pelimpahan dari Ditjen Pajak. Selanjutnya tugas jaksa adalah melakukan penuntutan.

Ia menjelaskan, dari sisi undang-undang, Kejaksaan juga memiliki limitasi alias keterbatasan mengingat UU Korupsi itu bersifat lex generalis sementara di UU Pajak lex specialis. Kejaksaan bisa menyidik kasus pajak pun jika hanya ada seorang PNS yang misalnya melakukan korupsi. Sementara untuk korporasi harus dikedepankan UU Pajak.

“Kalau indikasi korupsi itu baru bisa diberlakukan pada pegawai pajak yang korupsi, baru bisa Tipikor masuk, kalau tidak ada, ya tidak bisa dipaksakan, sementara ini kan murni korporat, ya harusnya UU Pajak,” ujarnya lagi.

Karena itu, penyelidikan restitusi pajak Mobile 8 justru dicurigainya lebih bermuatan politik ketimbang upaya penegakan hukum.[wid]

Komentar Anda