CITA Â | 14 Maret 2016
Akhir pekan kemarin publik kembali dibuat terkejut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga bekas pegawai pajak sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi, yaitu pemerasan terhadap wajib pajak dalam kasus restitusi. Tentu ini bukan kasus pertama yang muncul ke permukaan setelah sebelumnya beberapa kasus yang menyeret pegawai pajak santer diekspose ke publik, seperti Bahasyim Asyifie, Dhana Widyatmika, Tomy Hindratno, Pargono Riyadi, dan tentu saja sang fenomenal Gayus Tambunan.
Tak dimungkiri ada trauma di kalangan internal Ditjen Pajak terhadap penetapan tersangka ini. Bisa dimaklumi, beberapa tahun lalu institusi ini diluluhlantakkan oleh pemberitaan tentang Gayus Tambunan yang mengharu biru hingga menafikan akal sehat. Gayus dicitrakan sebagai monster korupsi yang amat menakutkan bahkan menjijikkan. Tapi penyelesaian khas Indonesia pun patut diduga: ingatan pendek publik memanjakan para aktor yang sebenarnya karena hingga kini tak pernah diungkap siapa pihak yang menyuap. Pengemplang pajak pun tetap melenggang dan justru berhasil merobohkan reputasi dan kredibilitas institusi pemungut pajak. Epistemologi yang diterapkan cukup ampuh: kebenaran adalah apa yang disampaikan berulang-ulang!
Luka-luka lama yang sangat mungkin kembali menganga patut dicermati karena upaya keras mereformasi Ditjen Pajak dirintis dengan perjuangan tak mudah. Institusi yang menyadari dirinya sebagai bagian penting negara ini terus berbenah. Sejak 2002 reformasi administrasi digarap serius, mulai dari pembentukan kantor pajak modern, remunerasi yang lebih baik, penerapan kode etik, pelembagaan etika melalui whistleblower system dan pembentukan unit kepatuhan internal. Hingga 2007 seluruh kantor pelayanan pajak sudah dimodernisasi dengan standar etik yang tinggi. Sudah cukup banyak pegawai nakal yang ditindak, dari dikenai sanksi ringan hingga pemecatan. Tapi karena senyap dan miskin publikasi, pembaruan yang terjadi dianggap angin lalu dan setengah hati.
Lalu apa yang tak terungkap di balik penetapan tiga bekas pegawai pajak oleh KPK ini? Fakta yang melingkupi sehingga pemahaman publik menjadi utuh dan benar. Ketiga orang ini justru berhasil ditangkap karena kerja unit kepatuhan internal Ditjen Pajak yang bekerja sama dengan Inspektorat Jenderal Kemenkeu. Ini membuktikan bekerjanya sistem peringatan dini dan pengawasan internal, juga komitmen Ditjen Pajak untuk memerangi korupsi dan penyimpanhan di tubuhnya. Ketika proses internal selesai dan diakhiri dengan pemecatan sebagai PNS, koordinasi pun dilakukan dan disepakati meski nilai kasusnya kecil, perkara diserahkan ke KPK dengan pertimbangan objektivitas penanganan perkara. Tentu saja kita maklum, selama ini Ditjen Pajak lebih sering dikerjai oleh penegak hukum lain dan tak mustahil kasus ini jadi kotak pandora yang kembali liar memanas dan merugikan. Lugasnya, pemilihan KPK didasari oleh kepercayaan pada kredibilitas lembaga antirasuah ini.
Cerita menjadi sedikit berbelok ketika penetapan tersangka terhadap bekas tiga pegawai pajak ini dicabut dari konteks dan kronologinya. Seolah-olah muncul kesan di publik bahwa kasus ini sarat muatan politik dan motif tertentu, atau dikesankan Ditjen Pajak belum berubah. Maklum, bulan Maret adalah bulan hajatan besar di Ditjen Pajak. Penetapan tersangka di bulan Maret dapat melunturkan upaya membangun kepatuhan pajak, apalagi jika kesan yang dikonstruksi adalah masih banyak oknum pegawai pajak yang melakukan tindakan tidak terpuji. Di samping itu, tidak utuhnya informasi yang diterima publik dapat menimbulkan kesan Ditjen Pajak dan Kemenkeu selama ini tidak serius. Jika semua pihak sepakat tidak memberikan toleransi pada penyimpangan dan di sisi lain berkomitmen membangun sinergi yang baik demi penguatan kelembagaan, komunikasi dan koordinasi menjadi kebutuhan mutlak.
Kembali ke persoalan korupsi pajak. Sejak kasus Gayus Tambunan mencuat dan hingga kini betah menjadi stigma buruk bagi Ditjen Pajak, saya sudah menempatkan wacana ini dalam konteks “permainan tandaâ€. Meminjam kerangka analisis semiotik Ferdinand de Saussure, kita paham bahwa makna tidak lahir dari hubungan antara tanda (signifier) dan tinanda (signified), tetapi justru dari relasi antartanda. Maka kasus Gayus jika jeli dicermati bukanlah relasi antara tindakan korup seorang Gayus dan Ditjen Pajak yang juga korup, melainkan relasi antara Ditjen Pajak dalam sistem perpajakan yang kompleks: penegak hukum lain, wajib pajak, masyarakat sipil, bahkan lebih spesifik oknum penegak hukum dan pengemplang pajak. Jika premis pokoknya adalah “tidak ada orang yang ikhlas membayar pajakâ€, maka cara terbaik tidak membayar pajak adalah meruntuhkan moral dan kredibilitas institusi perpajakan.
Tengara ini semakin terbukti ketika kasus Gayus selalu diungkit dan digunakan sebagai penanda bagi setiap kasus perpajakan, terutama tiap upaya penegakan hukum pajak. Bahkan pengemplang pun amat leluasa mengatakan “buat apa membayar pajak toh akan dikorupsi Gayusâ€. Gayus telah menjadi bingkai peyorasi yang ampuh, dan kini menjelma menjadi mantra syibolet yang memilah secara serampangan dan apriori: pajak pasti korup. Di titik ini, apabila perkara ditimbang dengan jernih justru terjadi kerugian amat besar bagi bangsa ini karena reformasi perpajakan menjadi jalan di tempat, moral pegawai yang sebagian besar jujur dan baik runtuh, pimpinan pun gamang. Dan di sinilah kontestasi kepentingan menemukan medannya: ada sementara pihak yang menikmati pesta dan bancakan.
Akhirnya kita perlu mengurai tali-temali kasus-kasus korupsi pajak secara jenih dan harus sudi mencuri kejernihan agar ada pelajaran berharga bagi masa depan. Tentu saja tak dimungkiri perilaku menyimpang di institusi perpajakan – sebagaimana di institusi pemerintah pada umumnya – masih terjadi meski kini kondisi sudah jauh lebih baik. Tanpa bermaksud membela berlebihan, otoritas pajak di negara maju pun tidak dapat mengatakan mereka bebas korupsi. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita terus membangun sistem zero tolerance terhadap korupsi dan efektif mencegahnya. Penetapan tiga bekas pegawai pajak sebagai tersangka ini justru buah manis dari kerjasama Ditjen Pajak, Itjen Kemenkeu, dan KPK. Bangsa ini amat berkepentingan dengan KPK yang selama ini dikenal tegak lurus memberantas korupsi. Reputasi dan kredibilitas KPK dapat menjadi jaminan bagi Ditjen Pajak agar lebih percaya diri menegakkan hukum, termasuk memberantas korupsi. Sebaliknya, Ditjen Pajak layak diapresiasi dan didorong terus-menerus memperbaiki diri dan tetap berinisiatif melakukan pencegahan yang efektif.
Jika prima facie kasus ini terkesan membenturkan KPK dan Ditjen Pajak, ternyata yang sebenarnya terjadi adalah sinergi yang apik. Agar para pengemplang pajak dan oknum yang nakal tak segera menggelar pesta, ada baiknya pimpinan kedua lembaga ini bersama-sama membangun komunikasi yang baik ke publik. Kirimkan sinyal bahwa Anda sekalian berada pada barisan yang sama, pejuang bagi Republik tercinta yang bahu-membahu dan saling menopang. Agus Rahardjo dkk jelas berkomitmen menjadikan sektor perpajakan sebagai national interest dan akan mengawal reformasi perpajakan hingga tuntas. Ken Dwijugiasetiadi juga menegaskan tekadnya untuk tegak lurus melakukan penegakan hukum. Barangkali benar adanya, bahwa yang telah dipersatukan Tuhan untuk membangun bangsa, tidak selayaknya diceraikan oleh manusia.
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis)
Sumber gambar:Â http://infokorupsi.com/datafile/id/images/korupsi/p555ffeed7a67c_K-pajak-Bireuen.gif